When The Body Says No Bab 2

Narasi Buku 

Judul : When The Body Says No

Penulis : Gabor Mate, M.D.

The Little Girl Too Good To Be True (Gadis Kecil yang Terlalu Indah untuk Menjadi Kenyataan)


Natalie seorang perawat (51th) mengalami kelelahan, pusing dan telinga yang berdengung dari waktu ke waktu. Gejala ini timbul tenggelam. Episode vertigo ini membawanya ke CT Scan dan diagnosa menunjukkan karakteristik abnormal yang berhubungan dengan penyakit Multiple Sclerosis (MS), sebuah inflamasi dimana myelin jaringan lemak yang menyelubungi sel saraf rusak dan terluka. 

Natalie mengalami periode hidup yang sulit, Anaknya baru saja keluar dari panti rehabilitasi narkoba. Suaminya juga baru saja operasi tumor usus dan didiagnosa kanker yang sudah menyebar ke hatinya. Natalie harus tetap merawat suaminya sementara dirinya juga sedang sakit. Tapi dia abaikan sakitnya dan tetap merawat suaminya dalam kepayahan hingga suaminya meninggal. 

Natalie menceritakan bahwa suaminya adalah tipe orang yang sulit. Yang mau melakukan sesuatu hanya jika dia mau melakukannya. Tipe bossy yang menjentikkan jarinya jika ingin sesuatu, hanya ingin dilayani dan akan marah dan teriak jika tidak segera dilayani. Kondisi ini membuat natalie lelah baik secara fisik maupun emosional. Ini terjadi tidak hanya saat Bill suaminya sakit, tapi juga saat ia mulai sehat. Bahkan Bill tega “bermain” dengan wanita lain disaat mulai pulih dari sakitnya. Hal ini tentu saja sangat menyakiti hati Natalie yang bahkan rela mengorbankan dirinya untuk merawat Bill. Sepanjang periode itu, Natalie masih sering mengalami pusing. Tubuhnya mengatakan “tidak” tapi dia terus mengabaikannya. Baginya siapa yang membutuhkan bantuan, akan dia bantu. 

Sepanjang pernikahannya, ada banyak alasan Natalie untuk mengatakan “ tidak” pada Bill. Bill adalah seorang pemabuk, saat dia mabuk dia menjadi kasar dan sering hilang kesabaran, seringkali membuat nathalie malu. Saat nathalie menghindar, Bill akan memarahinya. Saat nathalie sakit dan di diagnosa MS pun, dia tahu kalau Bill tak akan ada disampingnya untuk merawatnya. Meski akhirnya Bill meninggal, tapi dia telah memberikan penderitaan emosional kepada istrinya lebih dari yang bisa dibayangkan.

Peneliti di Colorado meneliti 100 orang dengan tipe penyakit MS kambuh hilang, dimana gejalanya kambuh berselang-seling dengan periode hilangnya gejala. Ini adalah tipe MS yang dimiliki Natalie. Pasien yang terbebani dengan stress ekstrim, seperti kesulitan dalam hubungan atau tidak aman secara finansial, biasanya 4x lebih besar kemungkinannya untuk menderita eksaserbasi/ perburukan. 

Bukti penelitian dan wawancara dengan pasien MS menunjukkan bahwa stress emosional entah bagaimana, mungkin terlibat dalam asal-usul MS. Keterlibatan emosional yang berlebihan dengan orang tua, kebutuhan yang luar biasa untuk cinta dan kasih sayang, ketidakmampuan untuk merasakan atau mengekspresikan kemarahan telah lama diidentifikasikan oleh pengamat medis sebagai faktor alami penyakit ini. 

Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1969 melihat peran proses psikologis dalam 32 pasien dari israel dan AS.  85% dari pasien MS ini mengalami munculnya gejala yang kemudian didiagnosis sebagai MS setelah peristiwa yang menegangkan yang mereka alami. Sifat stressor sangat bervariasi, dari kematian atau penyakit orang yang dicintai, ancaman kehilangan mata pencaharian secara tiba-tiba, peristiwa keluarga yang menyebabkan perubahan permanen dalam hidup seseorang dan menuntut fleksibilitas atau adaptasi di luar kemampuannya untuk mengelola. Konflik perkawinan yang berkepanjangan, dan peningkatan tanggung jawab di tempat kerja juga merupakan sumber stressor. Karakteristik umum dari MS adalah kesadaran secara bertahap dari ketidakmampuan untuk mengatasi situasi yang sulit, sehingga memicu perasaan tidak mampu atau gagal. 

Dalam kasus natalie, dia mengalami kekesalan yang berkepanjangan dan tak mampu mengungkapkan kemarahannya kepada suaminya. 

Kasus lain terjadi pada Lois, seorang jurnalis berusia 24 tahun. Dia jatuh cinta dan mengikuti kekasihnya tinggal di kutub utara. Tempat yang sulit untuk tinggal. Banyak kejadian minum-minum, kekerasan dan pembunuhan.  Selain harus berjuang hidup dengan kondisi kutub utara, Lois juga harus berjuang menghadapi kekasihnya. Secara fisik dia takut pada pasangannya yang penuh penghakiman dan kekerasan. Dia mencoba untuk bertahan sampai beberapa tahun hingga akhirnya “ditendang” keluar juga oleh kekasihnya. 

Hal utama yang Lois inginkan dari kekasihnya adalah rasa hormat, ia tak tahu mengapa tapi itu adalah hal yang besar baginya. “saya sangat menginginkannya sehingga saya bersedia menanggung banyak hal”. 

Lois mengatakan bahwa kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan telah menjadi ciri kehidupan sebelumnya terutama hubungan dengan ibunya. Lois memindahkan peran ibunya kepada sang pria. 

“Ibu saya selalu mengendalikan hidup saya, memberitahu saya apa yang harus saya lakukan, apa yang harus saya kenakan, menentukan dekorasi kamar saya. “Saya adalah gadis kecil yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. 

Dalam kasus lois, ia menundukkan keinginan dan kebutuhannya sendiri untuk mendapatkan persetujuan orang lain. Ia selalu berusaha menjadi seperti yang diinginkan orang tuanya. Sepanjang hidupnya Lois berusaha untuk mendapatkan “hormat” dari orang lain, diakui keberadaannya, eksistensinya. Sesuatu yang tidak didapatkan saat kecil, karena keberadaannya tak pernah diakui. Pendapatnya dan keinginannya seolah tak penting karena dia masih kecil. Inilah yang akhirnya ia perjuangkan untuk didapatkan saat dewasa, dengan cara apapun meski itu juga akhirnya menyakitinya. 

Kasus lain, yaitu Barbara seorang psikoterapis yang membantu banyak orang. Awal mula gejala sakitnya dimulai saat ia memasukkan seorang sosiopat rekan kerjanya saat di lembaga pemasyarakatan. Menurut barbara ia sudah sembuh dan butuh bantuan, jadi dia memberikan tumpangan tempat tinggal selama dua minggu. Tapi itu menjadi awal stressor baginya. Tindakan barbara memasukkan orang yang tidak stabil dan berbahaya dalam penelitian menjadi pemicu stress paling utama. Tetapi stress kronis karena tidak memiliki batasan yang jelas mendahuluinya. Batasan yang dimaksud disini adalah, batasan baik tidak baik, boleh tidak boleh, bisa dan tidak bisa, apakah hal ini melewati batas kemampuan atau urusan pribadiku atau tidak. Batasan itu tidak ditentukan dengan jelas. Sehingga apapun tetap dilakukan meski itu melewati batas urusan pribadi. 

Kaburnya batas-batas psikologis selama masa kanak-kanak menjadi sumber signifikan dari stress fisiologis masa depan pada orang dewasa. Ada efek negatif yang berkelanjutan pada sistem hormonal dan kekebalan tubuh karena orang dengan batasan pribadi yang tidak jelas hidup dengan stress. Itu adalah bagian permanen dari pengalaman sehari-hari mereka untuk diganggu orang lain. Namun, karena mereka belajar untuk menganggap itu hal yang biasa dan sewajarnya. 

Sebuah studi tahun 1994 yang dilakukan di Departemen Neurologi di RS Universitas Chicago melihat interaksi antara sistem saraf dan sistem kekebalan serta peran potensi mereka dalam Multiple Sclerosis. Tikus-tikus digunakan untuk mendemonstrasikan bahwa penyakit autoimun yang diinduksi secara artifisial akan memburuk ketika respons lari atau lawan diblokir. Jika tidak diganggu, kemampuan hewan untuk merespons stress secara normal akan melindungi  mereka. Artinya jika mereka merasa terancam, takut, marah dan dibiarkan mengatasi respon tersebut dengan lari atau melawan/melindungi diri, maka mereka akan tetap baik-baik saja. 

Pasien MS yang dijelaskan dalam literatur MS dan semua pasien yang diwawancarai, posisinya mirip dengan hewan laboratorium yang malang dalam studi chicago. Mereka terpapar stress akut dan kronis oleh pengkondisian masa kanak-kanak mereka, dan kemampuan mereka untuk merespon stimulus dengan perilaku lari atau lawan terganggu. Masalah mendasarnya bukanlah stress eksternal, seperti peristiwa kehidupan sehari-hari , tetapi masalah mendasarnya adalah ketidakberdayaan yang dikondisikan lingkungan sehingga tidak memungkinkan memberikan respon normal melawan atau lari saat ada stimulus yang kurang menyenangkan atau kurang sesuai dengan dirinya. Akibatnya, stress internal yang dihasilkan menjadi tertekan dan tidak terlihat. Akhirnya, ketika kebutuhannya tidak terpenuhi atau ketika harus memenuhi kebutuhan orang lain, orang tersebut tidak lagi mengalami stress. Rasanya biasa saja. Diri mereka telah dilucuti. 

Contoh kasus terjadi pada Veronique (33 th) yang didiagnosa MS 3 tahun sebelumnya. Selama hidupnya dia mengalami masa yang sulit, sering mendapat tekanan dari ibu angkatnya. Saat dia mulai lelah, dia berusaha pergi dan mencari ibu kandungnya. Namun, saat pertemuaan ternyata juga tak membuatnya bahagia. Dia harus menghadapi kenyataan, bahwa bisa jadi ia adalah hasil hubungan insest antara ibunya dan saudara sepupunya. Satu-satunya yang menurutnya bisa melindunginya adalah ayah angkatnya. Namun untuk mendapatkan itu pun banyak rintangan yang harus dihadapi.

Kisah lain, terjadi pada Jacqueline du Pre, seorang pemain cello berbakat dari inggris. Meninggal di usia 42 tahun karena MS. Meski ahli syaraf mengatakan bahwa stress tidak berkontribusi pada penyakit dan kematiannya. Tapi bukti kehidupan Jacky, menunjukkan sebaliknya.  Penyakit dan kematiannya merupakan ilustrasi buku teks virtual tentang efek menghancurkan dari stress yang disebabkan oleh represi emosional. 

Bagi khalayak hidup Jackie sangat sempurna. Dia memukau banyak orang dengan permainan cellonya. Menjiwai setiap pertunjukannya dan membuat banyak orang kagum. 

Namun, banyak orang yang tidak tahu apa yang terjadi pada Jackie sebenarnya. Ibu Jackie, menderita karena kematian ayahnya saat melahirkannya. Sejak saat itu, hubungan Jackie dan ibunya menjadi ketergantungan simbiosis yang keduanya tidak bisa membebaskan diri satu sama lain. Jackie tidak diizinkan untuk menjadi anak-anak atau diizinkan untuk tumbuh menjadi dewasa.

Jackie adalah anak yang sensitif, pendiam dan pemalu, terkadang nakal. Dia dikatakan tenang, saat memainkan cello. Orang-orang disekitarnya menggambarkan dia sebagai anak yang sopan dan dibesarkan dengan baik. Dia menghadirkan wajah yang menyenangkan dan patuh. Anak yang bahagia dan ceria. Seorang teman di SMA mengingatnya sebagai gadis yang ramah, periang dan bisa beradaptasi dengan baik. 

Namun, realitas yang terjadi pada batin jackie sangat berbeda. Saudaranya mengatakan bahwa dia pernah menangis dan bercerita bahwa tidak ada yang menyukainya di sekolah, rasanya mengerikan, mereka semua mengejekku. Jackie juga menggambarkan dirinya sebagai anak yang tidak bisa diterima anak-anak ain.  Mereka biasa membentuk geng dan mengatakan hal-hal yang mengerikan. Dia adalah anak muda yang canggung, aneh secara sosial, tanpa minat akademis dan sedikit bicara. Jackie selalu kesulitan mengekspresikan dirinya melalui kata-kata. Dia menyembunyikan ketegangan melankolisnya dibawah penampilan luarnya yang cerah. 

Sepanjang hidupnya sampai penyakitnya, Jackie menyembunyikan perasaannya dari ibunya. Sejak kecil dia selalu mengatakan pada saudaranya, “jangan katakan pada mom, dan saat besar nanti aku tidak akan bisa bebas bergerak”. Di kedalaman bawah sadarnya, anak kecil yang ada dalam diri Jackie merasakan tidak mampu bergerak secara mandiri, terbelenggu, vitalnya lumpuh”. “jangan katakan pada Ibu, menggambarkan keputusasaan mencoba menyampaikan rasa sakit, ketakutan dan kecemasannya, karena baginya ibunya juga tak akan mengerti dan menerimanya. Akhirnya semua kebencian Jackie pada ibunya meletus setelah dia didiagnosa MS. Meletus dalam kemarahan yang tak terkendali. Anak yang penurut menjadi orang dewasa yang sangat penuh permusuhan. 

Saat sudah menjadi pemain cello profesional pun, Jackie juga tak mampu menolak ekspektasi publik padanya. Saat dia mulai lelah dengan segala kehidupan panggung dan ingin berhenti, tapi dia mengatakan bahwa dia tidak bisa berhenti, terlalu banyak yang orang-orang korbankan sampai aku bisa di titik ini. Dia menyerah pada pemaksaan bakatnya dan kebutuhan keluarganya.

Pun saat dia menikah, meski terlihat bahagia, tapi dia juga tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Dia hanya bisa mengikuti kemauan suaminya yang juga pemain cello profesional dan mengabaikan keinginannya sendiri.

Terlalu banyak emosi yang direpresi oleh Jackie dari kecil sampai dewasa. 

Refleksi:

Berdasarkan kasus-kasus di atas, terutama natalie dan barbara, hal penting yang harus aku lakukan adalah “mendengar” diriku, dan berani mengungkapkannya. Jika sedih, marah, kecewa, ungkapkan dengan cara yang baik. Jangan dipendam dan mengikuti saja apa yang orang lain mau padahal kita sangat keberatan dan tidak mampu. Selain itu juga belajar untuk menentukan batasan yang jelas, mana yang menjadi urusanku dan mana yang menjadi urusan orang lain .Mana yang aku sanggup urusi dan mana yang tidak. 

Belajar dari kasusnya Jackie, veronique dan Lois. Sebagai orang tua aku harus belajar untuk tidak terlalu “mengendalikan anakku, membiarkan mereka menjadi diri mereka sendiri, menghargai setiap pilihan dan aspirasi mereka. Mendengarkan dan menerima segala perasaan mereka tanpa penghakiman dan penilaian sehingga mereka tetap nyaman bercerita pada kita, Namun, jangan juga biarkan mereka menjadi tergantung padaku karena setiap urusan mereka aku yang memutuskan. Beri mereka kebebasan untuk memutuskan dan memilih sesuai dengan diri mereka selama sesuai dengan prinsip agama dan moral. Tugasku adalah meluruskan jika ada yang salah. 

Anak yang terlihat “manis”, belum tentu manis jiwanya. Sebagai orangtua kita harus jeli melihat “kedalam” apa yang dirasakan anak. Jangan sampai dia merepresi perasaannya. Bantu ia untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.

#Narasibuku

Komentar

Postingan Populer