Saat Anak Merasa Sedih

Ramadhan tahun 2022 ini memberikan banyak pengalaman untuk Raisa. Beberapa hari lalu dia mengikuti pesantren ramadhan yang diadakan yatim mandiri. Saat melihat flyernya, mama melihat ini kesempatan yang bagus untuk raisa mencoba pengalaman “keluar rumah” dan bertemu teman-teman baru. Dia dengan sangat antusias menyambut tawaran mama untuk mengikuti pesantren ramadhan. “Iya mama, aku mau, aku mau mama”. berulang kali dia ucapkan itu. Motivasi awalnya karena dia ingin berkegiatan tanpa adiknya, hanya dia dan teman-temannya (selama ini memang dia nggak pernah lepas dari buntutan adiknya kecuali pas sekolah).

 Singkat cerita, dia berangkat dengan riang hati setelah sebelumnya menyiapkan semua perlengkapan nya sendiri. Dia juga tidak mau diantar karena mau bareng sama temannya. “Mama, Ayah dan adik-adik menjemputnya besok aja kalau pas jemput”, katanya. Satu malam setengah hari dia mengikuti kegiatan pesantren Ramadhan.

 Esoknya kami menjemputnya, dia terlihat mendapat goodie bag dan seabrek pengalaman baru. Tapi Mama melihat ada mendung di wajahnya yang tak bisa ia sembunyikan, meski coba ia sembunyikan lewat ceritanya yang seru tentang kegiatan pesantren ramadhan. 

 Malam hari, Mama membaca status wa seorang teman yang menceritakan anaknya yang bercerita tentang teman-temannya. Penasaran, mama bertanya, apakah dia juga cerita tentang Raisa? Benar saja, anak teman mama ini juga cerita tentang Raisa. Begini ceritaya,

 “Kata N gaya bicaranya Raisa sombong dikit mah 😬 “ Pas dapat makanan " Ih apa ini gak enak, gak suka aku" Kencang, jadi tak bilangin kalau gak suka pelan-pelan aja bilangnya!” “Trus ada yg tanya mah N mobil mu warna apa? Aku bilang aja mah kalau gak punya mobil, Trus raisa langsung bilang " Aku punya mobil 3, punya alfamart" Padahal gak tanya ke raisa” 

 Jujur saja, saat membaca chat ini, ada rasa nggak karuan yang bergemuruh dalam hati”. Sedih, kecewa, nggak percaya, campur aduk jadi satu. Sedih dan kecewa, “masa iya Raisa seperti itu, kemana pelajaran moral tentang rendah hati dan sopan santun yang kami pelajari selama ini, apakah benar-benar tak berbekas di hatinya? apakah percuma selama ini mama membacakan buku untuknya, apakah apakah,...berbagai pertanyaan muncul di kepala mama. Mama mencoba tenang. 

Menenangkan diri adalah cara terbaik, mama masih berharap mendengar versi langsung dari raisa, barangkali dia memiliki versi yang berbeda. Setelah tenang, mama coba ajak bicara Raisa. 

“ Sa, kemarin ngobrol apa saja sama teman kamu?’

 “ngobrol biasa aja Ma, cerita-cerita gitu!”

 “Apa kamu cerita soal mobil berapa yang kamu punya? 

“Iya, kan aku di tanya Ma, ya aku jawab”

 “oh ya, kamu yang ditanya temanmu” (mama bertanya untuk memastikan, karena cerita nya di atas bukan dia yang ditanya?

 Tiba-tiba saja dia menangis sambil menjawab,

 “Sebenarnya bukan aku yang ditanya Ma, aku jawab karena aku juga pengen ditanyain Mama, aku nggak pernah ditanya tanya, N tanya A, Ara tanya N, aku nggak pernah ditanya, aku dicuekin mama. Aku juga pengen ditanya,(R nangis sesenggukan), aku dicuekin, aku apa apa sendiri, mandi sendiri dll, kalau aku nanya ke mereka lagi ngapain, mereka bilang aku kepo Ma, jadi aku sendirian, baru paginya aku main sama AK (teman main laki-lakinya dirumah)".

 “Kamu sedih banget ya Nak?"

 “iya Mama, aku sedih banget, aku juga pengen ditanya, tapi mereka nggak pernah tanya ke aku” (Mungkin maksudnya adalah dilibatkan dalam pembicaraan, ngobrol bareng)

 Lalu berlanjutlah ceritanya tentang kesendiriannya saat sholat di masjid karena teman-temannya nggak mau sama dia. Tentang kebingungannya kenapa tiba -tiba temannya memperlakukannya seperti itu, tentang bahwa sebagian teman-teman disitu memang sudah berteman karena satu sekolah atau tetanggaan, hanya dia sendiri yang memang tidak ada teman.

 “Aku nggak maksud sombong Mama, karena aku mau jelasin kalau mobilku 3 tapi yang 2 punya kantor cuma satu aja yg kupakai tapi aku belum selesai cerita mereka sudah memotong dan ngomongin yg lain. Aku sedih mama, aku nggak tahu kalau itu yang bikin mereka nggak mau sama aku.

 “ Iya Nak, kadang -kadang kalau kita cerita tentang apa yang kita punya, apa yang kita bisa, orang menganggap itu menyombongkan diri meski mungkin maksud kita bukan menyombongkan diri. lain kali nggak usah ya cerita-cerita apa yang kita punya””iya Mama”.

  Kami berpelukan dan menangis bersama. Dari tangisnya, mama tahu kejadian ini menggores luka yang begitu dalam di hatinya. Mama bisa merasakan apa yang dia rasakan. Seperti dejavu, mama melihat nurul kecil dalam diri raisa. Nurul kecil yang tersisih, dan tak punya teman karena pemalu, dekil dan miskin. Yang ditemani saat dibutuhkan saja dan ditinggalkan saat mereka tidak butuh. rasa sedih Raisa begitu nyata mama rasakan. “Nak, apapun yang kamu rasakan, rasa sedih apa yang kamu alami, cerita ya sama mama, mama akan mendengarmu dan insya Allah mama akan selalu ada untuk mendengar ceritamu!” Setidaknya itu yang bisa mama lakukan.



 Secara fisik, mama tidak akan selalu ada disamping Raisa. Dia akan menjalani hidupnya sendiri, bertemu dengan teman-teman baru, mengalami kejadian-kejadian baru baik yang menyenangkan atau tidak, yang menumbuhkan atau melukai. tapi kamu punya mama tempatmu kembali, untuk mendengar kamu dan membantu membasuh luka-lukamu. Sampai tiba saatnya kau cukup mampu untuk menyelesaikan segala masalahmu sendiri. Atau sampai kau menemukan orang yang tepat untukmu berbagi.

 Tak selamanya kita bahagia, pun tak selamanya kita sedih, itulah hidup. Silih berganti antara bahagia dan sedih. Namun, selama kita punya seseorang untuk bercerita, saling mendengarkan, dan saling menguatkan, maka insya Allah hidup kita akan baik-baik saja. Mama ada disini untukmu, dan kamu ada disini untuk mama. mama menyayangimu Nak! 

 Refleksi : 
 Hidup kita tak selalu mulus seperti jalan tol. Ada kalanya kita menghadapi masalah, hambatan dan rintangan. Membuat kita menjadi marah, sedih, kecewa, bahkan stress. Ini tidak hanya terjadi pada orangtua tapi juga bisa terjadi pada anak-anak. Seperti yang dialami Raisa di atas.

 Pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan inilah yang kadang justru memantik kita untuk bertumbuh, menjadi lebih baik, menjadi lebih paham tentang diri kita, tentang orang lain dan hubungan dengan orang lain. Setiap masalah akan selalu hadir, dalam bentuk yang berbeda-beda. Sepanjang hidupnya anak akan mengalami ini. 

Tugas kita sebagai orang tua adalah “hadir” di sampingnya. Menerima setiap perasaan yang dialaminya tanpa penghakiman dan penilaian. Anak hanya butuh tempat “kembali” yang aman dan nyaman untuk mengeluarkan segala keluh kesah dan isi hatinya. Menata kembali ruang hatinya yang berantakan. Dia hanya butuh didengarkan. Selama hal itu terpenuhi, anak akan baik-baik saja, karena sebetulnya dia mampu memulihkan dirinya sendiri. 
 #Cerita Raisa

Komentar

Postingan Populer