When The Body Says No (Bab 1)

Narasi Buku  
Judul     : When The Body Says No 
Penulis : Gabor Mate, M.D 

Bab 1 
The Bermuda Triangle 

       Mary adalah seorang perempuan lembut dan ramah yang berusia 40 tahun. Karena tertusuk jarum jahit, ujung jarinya terluka dan tidak kunjung sembuh sampai menimbulkan gangren yang sangat parah dan membuatnya harus diamputasi. Meski sudah ditangani ternyata sakitnya tak kunjung sembuh, sampai akhirnya dia didiagnosa mengalami Skleroderma, salah satu penyakit autoimun, termasuk radang sendi, peradangan usus besar, lupus, bahkan diabetes, multiple sclerosis dan bahkan alzheimer. Biasanya semua penyakit ini terjadi karena serangan sistem kekebalan tubuh sendiri terhadap tubuh, yang menyebabkan kerusakan pada sendi, jaringan ikat atau hampir semua organ, baik itu mata, saraf, kulit, usus, hati atau otak.

         Ternyata dibawah sikapnya yang lemah lembut dan pemalu tersimpan emosi yang terepresi atau ditekan. Saat kecil, Mary pernah dilecehkan, ditinggalkan dan dipindahkan dari satu panti asuhan ke panti asuhan yang lain. Dia pernah meringkuk di loteng pada usia 7 tahun, sambil menggendong adik perempuannya sementara orang tua asuhnya sedang mabuk dan bertengkar. “Saya sangat takut sepanjang waktu dan saya harus melindungi adik saya , dan tidak ada seorang pun yang melindungi saya:, kata Mary. 

     Mary belum pernah mengungkapkan trauma ini pada siapapun termasuk suaminya yang telah menikah dengan nya selama 20 tahun. Mary belajar untuk tidak mengungkapkan perasaannya tentang apapun kepada siapapun, termasuk dirinya sendiri. Menjadi pendiam, rentan dan penuh tanya di masa kecilnya, telah menempatkannya pada resiko. Rasa amannya terletak pada pertimbangannya akan perasaan orang lain, bukan perasaannya sendiri. Dia akan merasa aman, jika orang lain senang meski dia harus menderita karenanya. Mary tidak mampu mengatakan “tidak” bahkan untuk sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Ia mengabaikan perasaannya sendiri, asal orang lain senang dan puas. Mary terjebak dalam peran yang dipaksakan padanya sebagai seorang anak yang harus memikul tanggung jawab atas kebutuhan orang lain. Padahal dia sendiri sebagai seorang anak, memiliki hak untuk dirawat, didengarkan, dan mendapatkan perhatian. Sehingga saat dewasa dan menikah pun, perasaan itu tetap ada padanya, perhatian utamanya berlanjut pada suami dan anak-anaknya dan mengabaikan perasaannya sendiri.  

Apakah scleroderma itu adalah cara tubuhnya menolak semua bentuk pengabdian itu?  

Mungkin tubuhnya melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh pikirannya, yaitu: mengabaikan ekspektasi tanpa henti, yang awalnya dipaksakan padanya dimasa kanak-kanak, dan sekarang dipaksakannya di masa dewasanya. Menempatkan orang lain di atas dirinya sendiri.  “Ketika kita dicegah untuk belajar mengatakan tidak, tubuh kita mungkin akhirnya akan mengatakannya untuk kita”. 

     Dalam volume ini, Gabor menulis tentang efek stress pada kesehatan, terutama tentang stress/ tekanan tersembunyi yang kita semua hasilkan dari pemrograman awal kita, sebuah pola yang begitu dalam dan halus sehingga terasa sebagai bagian dari diri kita yang sebenarnya. Sayangnya, apa yang ditulis Gabor ini mendapat banyak pertentangan terutama dari dunia kedokteran sendiri, yang meyakini bahwa sakit pada tubuh manusia tidak ada kaitannya dengan pikiran dan emosi. Sakit pada tubuh akan sembuh jika diberikan obat. Tanpa harus memperdulikan apa yang ada dalam pikiran dan emosi pasien. Padahal penelitian tentang hubungan antara tubuh, pikiran dan emosi ini telah dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Namun seperti hilang tanpa jejak, tenggelam dalam segitiga bermuda kedokteran.  

 Sampai akhirnya muncul istilah psikoneuroimunologi, yaitu ilmu tentang interaksi pikiran dan tubuh, kesatuan emosi dan fisiologi yang tak terpisahkan dalam perkembangan manusia di sepanjang kehidupan dalam hal kesehatan dan penyakit.  Sistem kekebalan tubuh kita terhubung langsung dengan pengalaman sehari-hari.  Misalnya kekebalan tubuh yang bisanya berfungsi normal pada anak muda yang sehat, terlihat menurun pada mahasiswa kedokteran yang sedang di bawah tekanan ujian akhir. contoh lain, kekebalan tubuh juga menurun pada para siswa yang kesepian, kelompok pasien rawat inap psikiatri yang juga kesepian.  

     Tekanan ujian, tekanan pekerjaan, terjadi dengan jelas dan dalam jangka pendek, artinya tidak selalu terjadi setiap waktu. Namun, banyak orang tanpa disadari menghabiskan seluruh hidup mereka seolah-olah berada dalam tekanan ( merasa diawasi, dihakimi, harus selalu menyenangkan orang lain dengan cara apapun). Sehingga lambat laun hal itu akan menggerus sistem kekebalan tubuh mereka. Sebagian besar kita hidup, kalaupun tidak sendirian, mungkin berada dalam hubungan yang tidak mendukung secara emosional, yang tidak mengenali dan menghormati kebutuhan terdalam kita. Hal-hal inilah yang tanpa sadar menyebabkan kita stress meski dari luar hidup kita terlihat baik-baik saja.

Bagaimana stress dapat berubah menjadi penyakit? 

Stress adalah tingkatan yang rumit dari respon fisik dan biokimia terhadap rangsangan emosional yang kuat. Secara fisiologis, emosi adalah pelepasan energi listrik, kimia dan hormonal dari sistem saraf manusia. Emosi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh fungsi organ utama kita. Baik sistem kekebalan tubuh, dan kerja zat biologis yang mengatur kondisi fisik tubuh. Ketika emosi-emosi ditekan seperti yang dilakukan Mary untuk mempertahankan diri pada masa kecilnya, hal itu melemahkan pertahanan tubuh untuk melawan penyakit. Karena, Represi memisahkan emosi dari kesadaran dan menurunkan mereka ke alam bawah sadar. Sehingga mengacaukan dan membingungkan pertahanan fisiologis. Masalah/tekanan yang seharusnya bisa diselesaikan, tapi karena disembunyikan atau ditekan jadi tidak terselesaikan. Masalah itu masih ada dan pada akhirnya merusak sistem pertahanan tubuh kita. 

     Menjadi hal yang sensitif, saat menghubungkan antara penyakit dan bagaimana cara orang menjalani hidupnya. Seolah-olah orang yang sakit merasa semakin disudutkan karena apa yang mereka alami adalah akibat dari apa yang mereka lakukan pada diri mereka sendiri. Tetapi, maksudnya bukan itu. Kita semua ingin menjadi lebih bertanggung jawab, yaitu memiliki kemampuan untuk merespons dengan penuh kesadaran akan keadaan hidup kita daripada hanya sekedar bereaksi. Kita ingin menjadi orang yang memiliki kendali dalam hidup kita sendiri, yang bertanggung jawab, mampu membuat keputusan yang mempengaruhi kita, karena tidak ada tanggung jawab sejati tanpa kesadaran. Bukan menjadi orang yang semena-mena terhadap tubuh, pikiran dan emosinya, dan ketika semuanya sakit mencari solusi dari luar dengan cara minum obat dan berharap sembuh.  

        Maka, yang perlu kita ajarkan kepada diri kita sendiri dan anak-anak kita adalah belajar menghargai diri sendiri, belajar untuk mengungkapkan perasaannya, menyatakan kemarahannya ketika orang lain melewati batas-batasnya secara fisik atau emosional.

Komentar

Postingan Populer