Mengendalikan Marah


Beginilah nasib lipstik saya pagi ini. Tanpa diduga Rafifa mengambil lipstik saya di wastafel. Membuka lalu menutupnya tanpa memutarnya terlebih dahulu. Terang saja saya kaget, tapi tidak marah sambil berteriak. Hanya berkata,
"Adek, kenapa mainan lipstik Mama?, jadi rusak kan! Lain kali minta izin dulu ya kalau mau pakai!"

Sebenarnya, saya lebih kaget dengan respon yang saya keluarkan. Kok tumben ya, aku nggak marah-marah.

Hal ini mungkin akan berbeda satu atau dua tahun yang lalu. Bahkan beberapa bulan yang lalu. Kemarahan saya pasti akan memuncak melihat kejadian serupa. Marah sambil berteriak. Dilanjutkan dengan mengomel.

Tak urung, membuat saya bertanya-tanya.
Apa aku lebih sayang Rafifa dibanding Raisa?

Uneg-uneg ini saya sampaikan kepada Ayah. 
"Yah, kok aku nggak marah ya sama Rafifa padahal dia sudah merusak lipstik ku? Apa aku lebih sayang Rafifa ya Yah?
Lalu ayah menjawab sambil menggumam,
"Iya, kamu lebih sayang Rafifa.

Jawaban ayah membuat saya merenung. Apa iya ya. Tapi, ah tidak. Saya menyayangi mereka sama. Semua saya beri kasih sayang yang sama. Hanya saja, saya yang sudah mulai berubah.

Apa saya menjadi lebih sabar? Mungkin.
Apa saya sudah berubah menjadi ibu peri? Ha...ha...tidak.
Apa saya sudah nggak pernah marah-marah lagi sama anak-anak? Nggak dong, marah masih sering.

Saya tetaplah seorang manusia yang bisa marah dan masih sering marah.

Lantas, bedanya apa?
Sekarang saya merasa lebih mampu mengendalikannya. Setidaknya, itu yang saya rasakan.

Dulu, awal-awal menjadi ibu kemarahan saya mudah tersulut. Bahkan untuk hal yang sangat sepele. Dengan suara keras dan mengomel. Pernah juga main fisik jika sudah amat sangat geregetan. Dan, jika kebetulan anak berada di dekat saya. Astagfirullah.

Sesuatu yang saya tahu salah dan membuat merasa bersalah. Menyesal, menangis lalu minta maaf. Tapi sering terulang. Merasa sangat buruk, ketika melihat wajah anak-anak yang kaget dan diam penuh makna saat melihat mamanya marah.


Menyadari bahwa itu keliru dan harus segera berubah. Mencoba mencari cara untuk berubah menjadi ibu yang lebih baik. Belajar dari buku dan pengalaman orang lain. Lalu mulai berlatih. Sedikit demi sedikit. 

Berlatih untuk diam, tenang saat melihat kejadian atau kelakuan anak yang dirasa tidak sesuai. Memberi waktu untuk diri sendiri. Mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Kadang berhasil, kadang tidak.

Saat ini pun, saya juga tidak sepenuhnya lepas dari marah. Kadang juga masih kelepasan marah sambil teriak atau "ngegas" istilah kami. Kadang tidak "ngegas" tapi ngomel. Namun, intensitasnya jauh berkurang. Masih butuh banyak latihan. 

Seumur hidup, saya yakin tidak akan lepas dari rasa marah. Karena, itu manusiawi. Rasa yang dianugrahkan Allah kepada kita. Seperti halnya rasa sedih, kecewa, senang, khawatir, dan takut. Hanya saja menjadi salah jika kemarahan itu menyakiti diri sendiri dan orang lain. 

Maka harus belajar marah yang memberdayakan, yang elegan. Latihan lagi...lagi...dan lagi.

Jadi ingat kisahnya ibu Jo, Mrs. March dalam novel Little Women karya Louisa May Alcott.

Jo sangat marah kepada Amy yang membakar buku catatan pribadinya. Sangking marahnya, Jo tidak peduli kepada Amy dan hampir saja membahayakan nyawa Amy. Saat menyadari kesalahannya, Jo meminta tolong kepada ibunya.

“Mama tidak tahu, dan tidak akan menyangka betapa buruk kelakuanku! Rasanya aku bisa melakukan apa pun juga kalau aku sudah dikuasai nafsu amarahku! Aku jadi begitu ganas, aku bisa melukai seseorang dan merasa puas dengan perbuatanku. Aku takut suatu saat aku bisa melakukan sesuatu yang mengerikan suatu hari kelak, dan merusak hidupku serta membuat semua orang membenci diriku. Oh Mama, tolonglah aku, tolonglah aku!”, kata Jo

“Aku akan menolongmu, anakku! Jangan menangis dengan begitu sedih. Jo sayang, kita mempunyai temperamen yang sama, bahkan dalam beberapa hal sifatku lebih buruk lagi dan acap kali menyita waktu sepanjang hidup kita untuk mengatasinya. Kau pikir kau mempunyai perangai terburuk di dunia, tetapi perangaiku dulu juga sama buruknya”.

“Mama mempunyai perangai buruk? Tidak mungkin, Mama tidak pernah marah!”

“Mama telah mencoba menyembuhkannya selama empat puluh tahun dan hanya berhasil mengendalikannya. Sepanjang umur, setiap hari Mama dikuasai rasa marah, Jo, tetapi Mama telah belajar bagaimana untuk tidak menampakkannya. Dan Mama masih ingin terus belajar untuk dapat meredam kemarahan walaupun perlu empat puluh tahun lagi”.

“Ma, apakah Mama sedang marah kalau kadang-kadang Mama keluar dari kamar mandi dengan bibir terkatup rapat, bila mendengar Aunt March mencela atau ada orang yang membuat Mama khawatir?” tanya Jo

“Ya, Mama belajar mencegah keluarnya kata yang terburu-buru diucapkan yang sudah siap keluar dari bibir Mama, dan bila Mama merasa tidak mungkin menguasainya, Mama keluar sebentar dan segera mengibaskan sifat lemah dan jahat itu”, jawab Mrs. March.

Seperti halnya Mrs. March, mungkin saya juga butuh waktu empat puluh tahun atau lebih. Bahkan seumur hidup saya untuk mengendalikan marah. Bukan menghilangkannya. Tak apa. Selama masih ada usaha, mau belajar dan latihan terus. Saya yakin, suatu saat akan menjadi ibu yang lebih baik. Semoga Allah memberi petunjuk, kemudahan dan kelancaran. Aamiin.
Kudus, 11 Juni 2020

Komentar

Postingan Populer