BUKAN IBU PERI

Sebagai ibu yang bukan ibu peri. Yang kadang kelepasan marah sambil ngengas. Mengomel sampai ngos-ngosan. Seringkali saya merasa sangat ketakutan. 


Takut kalau kalau anak-anak menaruh dendam.
Takut kalau-kalau ini mempengaruhi perkembangan psikologis mereka. Takut kalau-kalau ini menorehkan luka di hati mereka.

Tentu ketakutan saya ini bukan tanpa alasan. Anak-anak ini sedang bertumbuh kembang. Menurut teori perkembangan otak, satu kemarahan saja bisa merontokkan sinaps mereka. Yang tentu saja akan berpengaruh pada perkembangan otaknya. Belum lagi trauma psikologisnya. Duh...duh...duh...

Namun, disisi lain, saya juga bukan ibu peri. Hanyalah seorang ibu biasa yang sedang berjuang mengendalikan emosinya. Yang terkadang kelepasan marah.

Perasaan takut itu terus menghantui. Terutama setelah memarahi anak-anak. Meskipun setelah menenangkan diri saya selalu minta maaf dan menyampaikan alasan kenapa saya marah. Tapi tetap saja perasaan takut itu ada.

Sampai suatu hari, saya membacakan buku  "Kisah Tom Kucing" karya Beatrix Potter.

Dalam buku itu diceritakan tentang Tom kucing dan kedua saudaranya Mittens dan Moppet. Ketiganya sedang berguling-guling di undakan dan bermain-main di tanah.

Tetapi pada suatu hari, ibu mereka-Bu Tabitha Twitchit-akan kedatangan teman-temannya untuk minum teh bersama. Maka mereka dibawa masuk, untuk dimandikan dan didandani dengan pakaian bagus, sebelum tamu-tamu terhormat itu datang.

Bu Tabitha memakaikan rok indah bersih dengan kerah berenda kepada Moppet dan Mittens. Lalu memakaikan pakaian yang anggun tapi tak nyaman untuk anak lelakinya, Thomas atau biasa dipanggil Tom Kucing.

Ketika ketiga anak kucing itu sudah rapi. Bu Tabitha menyuruh mereka ke kebun, supaya tidak mengganggunya sementara dia membuat roti panggang.

"Jaga baju kalian agar tetap bersih, anak-anak! Kalian harus berjalan dengan kaki belakang. Jangan dekat-dekat lubang debu yang kotor, juga jangan dekati si ayam betina Sally Henny-Penny, kandang babi, dan para itik."

Tak berapa lama, gaun mereka telah kotor dan bertebaran dimana-mana. Kemudian Bu Tabitha Twitchit ke kebun dan menemukan ketiga anaknya di atas tembok, tanpa pakaian. Dia menyeret mereka turun dari tembok, memukul mereka, dan membawa mereka kembali ke rumah.

"Teman-temanku sebentar lagi datang, dan kalian tak pantas dilihat. Ibu sungguh malu," kata Bu Tabitha Twitchit.



Setelah membacakan buku itu, saya meminta Ca menceritakan kembali cerita yang dibacakan.

"Ibunya marah sama anak-anaknya Ma!", cerita Ca.
"Kenapa Bu Tabitha marah?", tanya saya.
"Karena anak-anaknya tidak mendengarkan!", jawab Ca.
"Bagaimana menurutmu, Bu Tabitha marah sama anak-anaknya?"
"Ya nggak papa, kan pakaiannya pada hilang, padahal tadi udah dibilangin kalau pakaiannya nggak boleh hilang".
"Bu Tabitha marah sambil memukul, boleh nggak?"
"Boleh!", jawab Ca

Jujur, agak kaget mendengar jawaban Ca. Eh, kaget campur senang deng!. Berarti selama ini jika saya marah, dia bisa menerima dong! Selama alasan marahnya jelas. Itu artinya, saya nggak perlu khawatir dan takut jika marah-marahnya saya akan membekas di hatinya. Asyik...

Namun, begitu pertanyaan yang sama saya tanyakan kepada Fa, berikut jawabannya:

"Bu Tabitha marah sama anak-anaknya, gimana menurutmu Fa?"
"Ya jangan, kasihan anak-anaknya!"
"Tapi kan mereka salah Fa?"
"Tapi kan mamanya bisa bilang, bajunya jangan dihilangin lagi ya!", jawab Fa.
"Bu Tabitha marah sambil memukul, boleh nggak Fa?"
"Nggak boleh, kan harus sayang anak anaknya!"

Hiya...inilah manfaatnya punya anak lebih dari satu. Bisa melihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Intinya, mama tidak jadi senang. Mama harus tetap belajar dan latihan terus. Latihan marah yang elegan. Semangat Ma!

Kudus, 26 Juni 2020


#530kata

Komentar

Postingan Populer