Do Your Best and Let God Do The Rest


Suatu hari saya berdiskusi dengan seorang teman. Dia bertanya tentang bagaimana awal mula gigi Big R bisa gigis sama seperti anaknya.

Lalu saya bercerita, bahwa dari awal saya sudah menerapkan pola kebersihan gigi yang baik menurut teori yang saya pelajari.

Yaitu, tidak memberikan gula garam sebelum usianya satu tahun, tidak memberikan makanan manis saat giginya mulai tumbuh bahkan membatasinya sampai sekarang. Menggosok gigi anak secara teratur. Nyatanya giginya tetap saja gigis.

Meskipun setelah bertemu dengan dokter gigi, saya baru tahu bahwa ada satu kesalahan fatal yang telah dilakukan.

Yaitu, memberinya ASI sebelum tidur dan saat dia terjaga. Lalu tidak membersihkannya kembali. Ternyata ini berpengaruh pada gigi anak Big R.

Kesalahan itu mungkin memang fatal,  teman saya juga melakukannya. Gigi anaknya juga sama gigisnya seperti Big R.

Gigi 2R yang sama-sama gigis
Dalam diskusi kami, sebenarnya kami sedikit tidak terima. Bagaimana mungkin satu kesalahan yang kami lakukan berakibat sangat fatal.

Sementara orang lain yang melakukan banyak kesalahan dalam perawatan gigi anaknya justru giginya baik-baik saja.

Seperti, gula garam tetap diberikan di usia sebelum satu tahun, gosok gigi juga jarang, permen dan makanan manis diberikan dengan bebas. Minum susu dot sambil tidur tanpa dibersihkan kembali giginya. Tapi semua gigi tetap baik-baik saja, sehat dan tidak gigis.

Kasus ini mengingatkan saya tentang kegalauan saya akhir-akhir ini.

Tentang pertanyaan mendasar yang tak mampu saya jawab.

Yaitu, kenapa saya harus pusing- pusing memikirkan pendidikan anak-anak, sementara orang-orang begitu santai menyerahkan pendidikan dan pengasuhan anaknya kepada lembaga yang mereka percaya. Dan anaknya masih baik-baik saja.

Ambillah contoh anak tetangga. Dia bersekolah di sebuah SD Negeri. Ibunya bercerita,

"Dulu awal sekolah anakku itu takut sama gurunya yang galak, lama-lama ya sekarang sudah biasa". 
"Pelajaran di sekolah anakku sudah berat, padahal baru kelas 1. Setiap hari ada PR dan ulangan setiap minggu".

Kalau melihat anak tetangga, saya lihat dia memang baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda trauma pada dirinya. Tetap semangat sekolah, semangat belajar, sopan, baik sama teman dan mudah di beritahu atau dinasehati, rajin sholat ke masjid dan belajar mengaji.

Lalu saya mulai berpikir, "ngapain ya aku pusing-pusing mikirin pendidikan anakku". Mencari metode pendidikan yang baik. Mencarikan sekolah yang harus ramah anak. Ibu guru yang penuh kasih sayang. Kurikulum yang sesuai dengan perkembangan usia anak. Memberikan Lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak.

Haruskah saya "rempong" seperti itu? 

Atau, saya seperti orang-orang lain saja yang tidak terlalu "ntritik" memikirkan pendidikan anak- anaknya? 

Let it flow sajalah... Santuy... Biarlah berjalan apa adanya.

Kegalauan ini sebenarnya sudah berlangsung sejak beberapa waktu lalu. Sejak Big R berusia 6 tahun. Dan, dia keukeh ingin sekolah formal. Kami harus mulai mencarikannya sekolah.

Kegalauan ini saya share di group CMIdbernarasi, guna mendapatkan solusi dari teman-teman. Banyak insight yang saya dapatkan setelah berdiskusi dengan teman-teman baik ini. Alhamdulillah...

Dan berikut ini rangkumannya:

1. Tentang gigi. 

Kerusakan gigi anak disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, air bisa mempengaruhi, dan juga genetik. kalau ibu/ayah giginya mudah keropos kemungkinan bisa diturunkan.

Gigi susu, apapun penyebabnya akan hancur dan beralih ke gigi permanen. Gigis hanya fase yg dilalui. Menjaga secara ketat aja masih disapa gigis, nah bagaimana bila kita abai? Bisa ditebak jawabannya.

He.. He.. Iya juga sih, tugas saya sebagai ibu adalah mengusahakan yang terbaik. Apapun hasilnya kita terima, dievaluasi dan diperbaiki. Mungkin ada kesalahan yang luput telah dilakukan.

Meskipun gagal membuat gigi anak  tidak gigis ternyata banyak manfaat lain yang saya peroleh. Misalnya, anak tidak picky eater karena dari bayi mereka merasakan rasa asli makanan tanpa gula dan garam.

Anak-anak juga lebih mudah diberitahu tentang bahaya makanan tidak sehat dan berusaha untuk meminimalisir memakannya. Misal, saat dia lihat temannya makan es krim tiap hari, dan dia juga meminta hal yang sama, saya beritahu bahwa es krim tidak sehat, boleh sesekali tapi tidak tiap hari. Dan dia menurut. 

Jadi, saya tetap akan melakukan perawatan gigi terbaik yang bisa saya usahakan kepada anak-anak. Apapun hasilnya.

2. Mengecek kembali visi dan misi pendidikan keluarga.

Tujuan kami mendidik anak adalah mengenal dirinya sendiri dan Tuhannya. Beriman dan taat kepada Allah. Bermanfaat bagi sesamanya.

Sekolah atau tidak sekolah sebenarnya adalah pilihan. Selama menemukan sekolah yang tepat sesuai dengan visi misi kami, tentu itu tidak masalah.

Belajar bisa dimanapun dan dengan siapapun

Namun, yang perlu digaris bawahi adalah tugas mendidik anak, adalah tugas orangtua. Allah memberi amanah anak kepada orangtua.

Jadi, tanggung jawab utama  diberikan kepada orangtua. Bukan kepada sekolah atau guru.

Berupaya memberikan pendidikan yang terbaik adalah tugas orangtua. Apapun hasilnya, lakukan saja.


Bukan hasil yang dinilai, karena hasil adalah urusan Allah. Proses yang baik itulah yang dinilai Allah. Sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagai orangtua yang diamanahi seorang anak.

Mengimani bahwa apa yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Akan memberikan hasil yang baik pula.

"Do your best and let God do the rest".



3. Rumput tetangga lebih hijau.

Seorang teman mengatakan, 
"Kegalauan muncul saat kita mulai membandingkan".

Yups... Bener banget. Semua ini berawal dari membandingkan.

Membandingkan anak sendiri dengan anak tetangga. Padahal anak-anak bukan kuda pacu, yang harus selalu terlihat baik semuanya, setiap waktu. Mereka adalah manusia utuh yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Tugasku sebagai orangtua adalah menghargai setiap potensi itu tanpa membandingkannya dengan anak lain.

Kita tidak pernah tahu, usaha apa yang telah dilakukan orangtuanya. Membuat anaknya menjadi anak yang baik.

Bisa jadi mereka berdo'a lebih tekun dan khusyu.

Bisa jadi mereka mampu menyingkirkan hawa nafsunya dan menjadi teladan yang baik bagi anaknya.

Yang bisa kita usahakan adalah menjadi orangtua versi terbaik dari diri kita.

"Raise your children, raise your self".

4. Jumawa.

Ini adalah kesimpulan saya sendiri. 
Kegalauan ini muncul karena mulai ada rasa jumawa, merasa melakukan hal yang lebih baik dari orang lain tetapi ternyata kok hasilnya tidak lebih baik.

Saya merasa telah belajar lebih banyak, mendidik anak lebih baik. Namun, ternyata hasilnya tidak jauh lebih baik dari orang lain yang (terlihat) santai saja dalam mendidik anaknya.

Jadi inget ayat ini,

"Setiap bencana yang menimpa di bumi atau yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah."
"Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri". 
(QS. Al-Hadid : 22-23).

Astagfirullah... Mungkin ini juga teguran dari Allah supaya saya lebih rendah hati.

Jika pun nanti, anak-anak menjadi anak yang baik dimata manusia dan terutama di mata Allah.

Itu semua bukan karena usaha yang telah saya lakukan. Namun, semata-mata karena karunia dari Allah.

Kegalauan adalah alarm awal untuk segera berubah.

Berubah menjadi lebih baik. Lebih ikhlas melakukan sesuatu hanya karena Allah.

Berbuat yang terbaik hanya untuk Allah semata.

Mendidik dan mengasuh anak semata-mata dalam rangka beribadah kepada Allah.

Terimakasih untuk teman-teman CMIdbernarasi, atas insight yang mencerahkan. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. 
Kudus, 21 Januari 2020 

Komentar

Postingan Populer