Pengalaman Seru Pulang ke Banyuwangi

"Bun ada telpon dari Kung", Kata ayah sambil menyerahkan handphone saat saya bermain bersama anak anak.

“Mbahmu wis nggak enek” (Nenekmu sudah meninggal), terdengar suara Bapak dari ujung telpon.

Kabar duka itu kami terima di siang hari pukul 11:00 WIB. Selang tiga jam kemudian, kami berangkat ke Banyuwangi untuk memberi penghormatan terakhir kepada Nenek.
Bagi kami pulang ke Banyuwangi bukan hal biasa. Ini adalah istimewa. Satu tahun sekali kami baru bisa pulang saat Hari Raya Idul Fitri. Meskipun kepulangan kali ini dalam rangka berduka, namun tidak mengurangi antusiasme kami.

Sepanjang perjalanan Raisa dan Rafifa terlihat senang. Jalan-jalan jauh yang selama ini diangankan (terutama Raisa) akhirnya terwujud. Baginya, jalan-jalan jauh artinya, menginap di perjalanan, mandi dan sholat di masjid, tidur di dalam mobil, istirahat di POM bensin, dan makan di warung.

Favorit anak-anak saat di Masjid

Selain itu,  kenangan pengalaman baru selama di rumah Kung juga membuat anak-anak bersemangat pulang ke Banyuwangi. Bagi mama juga sama, pulang berarti bernostalgia dengan kenangan masa kecil. Tempatnya juga makanannya. Dan, berikut beberapa kegiatan yang kami lakukan selama di Banyuwangi:

Belanja di pasar pagi
Di dekat rumah mama, tepatnya di proliman Petahunan, Jajag, setiap pagi dan petang ada pasar dadakan. Berbagai makanan jadi, sayuran, ikan segar bahkan jajanan pasar ada di sini. Favorit mama adalah cenil, ketan dan pecel. Tak lupa mama juga belanja sayur yang tidak mama temukan di Kudus. Seperti, selada air, pakis, genjer dan lompong. Mama juga memborong ikan segar yaitu lemuru, belut, dan ikan tongkol kecil untuk dibawa ke Kudus.

Makanan dan Jajanan favorit

Sayur dan ikan favorit Mama

Menimba air di sumur
Sejak mengenal alat timba dan diizinkan menggunakannya. Menimba air adalah hal wajib yang harus dilakukan selama di rumah Kung. Mengambil air dari dalam sumur dan menariknya ke atas menjadi sensasi tersendiri buat Raisa. Bahkan dia sering meminta mandi langsung dari ember hasil timbanya. Apalagi saat mama bercerita, dulu saat kecil mama sering membantu Uti (Nenek) menimba air. Raisa semakin bersemangat, dan dia bilang, "Aku kaya mama waktu kecil kan, bisa bantu timba air!”

Menimba air

Panen buah naga bersama Kung
Kepulangan kami kali ini bertepatan dengan masaknya buah naga kami di belakang rumah. Kesempatan baik ni, anak anak bisa sekalian mengenal buah naga dan memanennya. Setelah malam sebelumnya kami dikejutkan dengan bunga buah naga yang besar, indah dan menawan. Bunganya hanya mekar di malam hari dan akan menguncup saat siang hari. Saat memetik buah naga, Raisa dan Rafifa hanya melihat saja. Karena daunnya yang berduri membuat mereka enggan untuk mendekat. Rasa senang tak terkira menikmati buah naga hasil panenan sendiri.

Panen buah naga

Sekolah sehari 

“Mama kita di Banyuwangi berapa hari?”
“Belum tahu Sa, memang kenapa?”
“Mama, aku besok mau ikut sekolah di sekolah belakang rumah Kung boleh?
Sehari atau dua hari gitu Ma!”
“Boleh, besok Mama minta izin dulu sama Bu Gurunya ya! Kalau diizinkan ya kamu boleh ikut sekolah!”
“Ya Mama, besok aku bangunin pagi-pagi ya!”

Esok paginya, Raisa bersemangat bangun pagi lalu mandi. Begitupun dengan Rafifa. Mereka mau berbaur dengan teman-teman barunya. Ikut senam dan kegiatan di kelas masing masing sesuai usia. Bahkan saat diminta maju ke depan, Rafifa mau mengikuti arahan bu guru. Mama yang penasaran juga ikut sekolah tapi hanya menunggu  di luar. Setelah beberapa lama di kelas, Rafifa ternyata menangis mencari mama.. Wkkk

Saat pulang sekolah, Raisa bercerita kalau tadi kegiatannya menari. Dia juga bercerita kalau temannya berbagi makanan karena Raisa tidak membawa bekal.
Saat ditanya besok mau ikut sekolah lagi Sa? “Enggak Ma, besok kan kita mau pulang ke kudus!”

Mengikuti Kegiatan Sekolah


Rafifa maju ke depan memimpin do'a

Membantu Kung di dapur

Raisa senang membantu mama di dapur, tapi karena dapur mama di Kudus sempit, Raisa tidak bisa leluasa membantu mama. Nah, dapur di rumah Kung agak luas, sehingga mama membebaskan Raisa membantu Kung. Seperti pagi itu, Raisa membantu membuang kotoran ikan, mencuci sayur dan mencuci piring sekalian membersihkan tempat cuci piringnya. Raisa terlihat senang karena dia bebas berekspresi ditambah ukuran tinggi wastafel yang pas dibadannya.

Membantu Kung membuang kotoran ikan

Membantu Kung mencuci piring

Bermain bersama para sepupu

Dulu saya pikir Raisa itu pemalu, jadi agak susah bersosialisasi. Ternyata itu hanya asumsi ibu kurang ilmu semacam saya. Dia memang masih pemalu, butuh sedikit waktu untuk beradaptasi. Tapi kemampuan sosialisasinya saya ancungi jempol. Meskipun sudah lama tidak bertemu para saudara sepupu ternyata dia mampu dengan baik berteman dan bermain bersama mereka. Awalnya masing-masing bermain sendiri. Raisa sedikit demi sedikit mendekat lalu mulai terjadi komunikasi dilanjutkan bermain bersama.

Bermain bersama Mbak Sekar dan Mbak Rasmi

Menikmati destinasi wisata Banyuwangi 
"Banyuwangi itu dekat Bali".  Begitu saya menjelaskan kepada siapapun yang bertanya asal kelahiran saya. Tak banyak yang mengenal Banyuwangi, tapi begitu saya jelaskan dekat Bali, maka orang akan mudah mengetahuinya. Tapi, itu dulu. Banyuwangi yang sekarang tak kalah moncer dibandingkan dengan Bali. Banyuwangi juga memiliki destinasi wisata yang tak kalah menarik. Pantainya, gunungnya, hutannya semua layak dikunjungi. Sebagai warga asli Banyuwangi, rugi dong kalau saya tidak mampir ke salah satunya. Karena kepulauan kami kali ini bukan untuk berniat liburan, jadi mencoba mengunjungi wisata yang bisa dijangkau dengan mudah. Yang bisa kami kunjungi sambil jalan. Akhirnya kami mampir ke De’jawatan Benculuk saat perjalanan menuju kota Banyuwangi. Juga, mampir ke pantai watu dodol saat perjalanan pulang ke kudus. Disepanjang perjalanan, kami juga dimanjakan dengan pemandangan pantai, hutan, sawah dan gunung yang membuat adem dihati.

Mampir di D'jawatan Benculuk

Berenang di Pantai Watu Dodol 

Merasakan jalan tol baru
Sejak memiliki anak-anak, kami tidak pernah menargetkan berapa lama perjalanan kami. Seperti perjalanan pulang kemarin, kami berhenti untuk berenang di pantai selama 1,5 jam, lalu berhenti di SPBU untuk sholat dan makan siang juga selama 1,5 jam. Sehingga perjalanan bisa memakan waktu berjam-jam. Namun, saat perjalanan balik, dan anak-anak sudah terlelap tidur. Rasa ingin segera sampai di rumah pun muncul. Apalagi hari sudah mulai petang saat kami tiba di Grati Probolinggo. Akhirnya ayah punya ide untuk pulang lewat jalan tol saja mulai dari Probolinggo lanjut sampai Semarang. “Lewat jalan tol Yuk, sekalian kita nyoba tol baru. Siapa tahu bisa lebih cepat sampai rumah!",  kata ayah.

Saya menyukai lewat jalan tol, bukan hanya karena lebih cepat tapi juga karena pemandangan alamnya. Lewat jalan tol berarti kita akan disuguhi pemandangan sawah dan pemandangan lain yang masih alami. Namun, karena waktu itu sudah menjelang malam, yang ada jalan tol sangat gelap dan sepi. Saya yang tadinya berencana tidur, akhirnya terjaga untuk menemani ayah. Hampir separuh perjalanan, anak-anak terbangun dan merasa kelaparan. Sayangnya, beberapa rest area yang kami lalui belum jadi. Saya meminta anak-anak bersabar sampai kami menemukan rest area yang sudah buka. Alhamdulillah, sampai di Madiun kami menemukan rest area. Meskipun kecil dan hanya beberapa warung yang buka, kami tidak punya pilihan lain.


Setelah makan, istirahat, dan sholat kami lanjutkan perjalanan. Saldo E-tol kami semakin menipis. Ayah berencana mengisi saldo di minimaket yang ada di rest area. Namun, ternyata terjadi masalah pada mesin atmnya. Kartu E-tol kami tidak bisa diisi.

“Wah ... Gimana nih Ma, kelihatannya saldonya kurang kalau sampai Semarang”

“Ya wis Yah, keluar tol terdekat aja menuju Kudus”

“Turun Sragen aja wis nanti lewat Purwodadi”.

Awalnya ayah agak ragu kalau harus lewat Purwodadi karena kondisi jalan yang kurang baik. Namun, karena kami tidak punya pilihan lain maka kami putuskan untuk keluar tol Sragen saja. Malam itu, karena memang tidak tahu jalan kami hanya mengandalkan google map. Segala perkataan mbak Google map kami ikuti, dan ternyata mbak Google mengarahkan kami ke jalan terdekat menuju Purwodadi. Sayangnya, jalan itu adalah jalan kampung yang sempit, melewati perkampungan dan persawahan yang gelap dan sepi. Kami tidak punya pilihan lain selain mengikuti arahan mbak Google. Mau tanya penduduk sekitar, sudah tidak ada orang bersliweran. Hanya doa yang kami panjatkan semoga mbak Google mengarahkan ke jalan yang benar. Setelah kurang lebih 30 menit melewati jalan tak pasti, akhirnya kami bertemu jalan besar Solo-Purwodadi. Hamdalah kami ucapkan bersama-sama. Ketegangan yang menyergap mulai sirna. Kewaspadaan tetap menyala, karena kami harus melewati jalan bergelombang dan berkelok sepanjang Purwodadi. Akhirnya pukul 24.30 wib, kami sampai di Kudus. Bersyukur kepada Allah kami sampai di Kudus dengan selamat. Sungguh malam itu adalah petualangan yang menegangkan bagi kami. Melewati jalan tol baru dan jalanan sepi yang asing di malam hari.

Melewati jalan tol memang memiliki keuntungan tersendiri. Selain lebih cepat, saya juga tidak begitu tegang karena harus berpapasan dengan truk-truk besar. Berbeda saat lewat pantura, kami harus berpapasan dengan truk dan bis dengan kecepatan tinggi. Namun, lewat jalan tol juga harus tetap waspada. Jalan mulus yang melenakan, kadang-kadang membuat khilaf. Memacu kendaraan sekencang mungkin. Selain itu tarif tol yang mahal juga menjadi pertimbangan kami. Untuk kami, yang tidak terburu waktu akan jauh lebih baik lewat jalan reguler. Uang pembayaran tol yang hampir Rp300.000,- bisa untuk beli makan dan oleh-oleh (wkkk… Emak irit)

Itulah cerita seru kami saat pulang kampung. Kenangan indah yang tak terlupakan. Membuat hati selalu rindu untuk pulang.
Kudus, 6 Maret 2019






Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer