Berat Badan Tidak Naik, Apa yang Salah Dok?


Ibu mana yang tidak khawatir jika anaknya tidak naik berat badan juga tinggi badannya. Nah, saya salah satu ibu itu. Yang khawatir kok anak nggak gemuk- gemuk. Kok rasanya tinggi badannya segitu-gitu aja. Apalagi kalau pas kumpul sama teman yang seusia, dia terlihat paling kecil. Mama jadi tambah baper.

Meskipun saat curhat sama sesama ibu, ada yang mengatakan,

“Nggak apa-apa Bu, yang penting kan mau makan”.

“Nggak apa-apa Bu, yang penting kan sehat”.

Atau, saat bertemu tetangga mama jaman kecil. Pak tetangga ini berkomentar,

“Wis anakmu  ini persis seperti kamu waktu masih kecil, ya badannya ya rambutnya!” (maksudnya tubuhnya sama-sama kurus seperti mama waktu masih kecil). Iya sih, dari kecil sampai gede, tubuh mama kurus kering kerontang. Setelah melahirkan dua anak baru deh melar, wkkk…

Perkataan-perkataan itu sedikit banyak membuat mama lega. Sebentar saja... Selanjutnya galau lagi.

Nah, untuk mengatasi kegalauan ini, Mama bertekad bulat bertemu dokter anak untuk konsultasi. Ada apa gerangan dengan si anak. Sehat kah dia? Stunting kah dia? Kurang gizi kah dia? Ah semoga tidak…

Ruang Praktek Dokter Anak

Pagi itu, kami pergi ke salah satu rumah sakit di Kudus untuk bertemu dengan dokter anak. Mama dan ayah lupa kalau hari itu hari senin, rumah sakit sangat penuh Cin, padat merayap. Mulai dari antri pendaftaran sampai menunggu dokter datang membutuhkan waktu berjam-jam. Mulai pukul 10. 00 sampai 14.30 siang. Dokter yang mama pilih kali ini berdasarkan rekomendasi seorang teman. Seorang dokter anak senior. Sebenarnya mama agak khawatir saat mau bertemu dokter, khawatir dimarahi karena nggak becus ngurus anak. Wkkk…
Ini pertama kalinya juga mama bertemu dengan dokter anak setelah hampir 5 tahun punya anak.

Setelah nomer antrean kami dipanggil. Mama,ayah dan rafifa pun masuk.

“Bu, silahkan ditidurkan  di atas anaknya”, kata bu perawat.

Setelah Rafifa tiduran di atas kasur, pak dokter mulai bertanya,

“Sakit apa ini?”, tanya pak dokter

“Nggak sakit dok, cuma mau konsultasi. Ini lho Dok, berat badan dan  tinggi badannya kok selama beberapa bulan ini nggak naik ya? Saya takut ada  apa-apa!”

“Umur piro?” (umur berapa?), tanya pak dokter dengan bahasa jawa yang kental dan legit. Menambah suasana semakin hangat, menghempas seluruh ketegangan mama. Wkkk…

Perbincangan selanjutnya menggunakan bahasa jawa, tapi ini langsung saya translete ya  biar nggak kepanjangan.

“Berat Badannya berapa?”

“10,3 kg Dok!”

“Berat badan saat lahir berapa?”

“2.9 kg Dok!”

“Tinggi badannya berapa?”

“103 cm Dok!”

“TB saat lahir berapa?”

“47 cm Dok!”

“Ya kalau segitu wajar lah, wong TB anak itu tiap tahun kenaikannya cuma 20 cm per tahun”, lanjut Pak Dokter

“Kurang-kurang dikit nggak apa-apa, masih wajar. Kan berdasar keturunan juga. Ibu Bapaknya kecil apa besar juga.Trus makannya mau apa tidak?”

“Mau dok, hanya sayur dia belum begitu suka. Sayur tertentu aja. Sayur yang tidak berwarna hijau seperti kol, jipan, timun, labu putih, kembang kol dia mau”.

“Lauknya biasanya apa?”

“Telur, ayam, ikan tapi paling suka telur Dok!”

“Ya sudah nggak apa-apa, tapi gini ya, makan ayam itu habis 2 paha ayam nggak sekali makan?”

“Ndak Dok, paling hanya satu paha ayam saja”

“Lha iya, sekarang lauk makannya dibanyakin ikan saja. Bisa ikan air tawar apa ikan laut. Kalau bisa ikan yang dapat dimakan semuanya, ya kepalanya, ya tulangnya, ya durinya. Ndeso engko mesti ngomongmu. Memang ikan “ndeso”, seperti wader, sepat, dan teri. Yang penting ikan yang utuh bisa dimakan semua bagian tubuhnya. Kenapa hayo?”, tanya Pak Dokter

“Kenapa Dok?”

“Karena tulang dan duri ikan itu sumber kalsium dan protein”.

“Trus susunya dikasih apa?”

“Ndak Dok, selama ini hanya saya kasih susu UHT!”

“Nah itu, kudune tetap diberi susu formula, soale gini lho. Susu UHT itu cuma mengandung kalori. Kalau susu formula kandungannya lebih lengkap. Tidak usah beli yang mahal juga nggak apa-apa. Yang penting bisa mencukupi kebutuhan proteinnya!”

“Iya Dok! Anak saya ini nggak stunting kan Dok?”

“Nggak ... Sehat kok, nggak apa-apa!
Makannya mau, anaknya juga sehat kok”.

“Alhamdulillah ... Terimakasih ya Dok!”

Lalu pak dokter memeriksa Rafifa yang selama mama dan ayah konsultasi tiduran di tempat tidur pasien.

“Ini nggak sakit kan?”
“Tidak dok, alhamdulilah sehat”
“Ya sudah sehat kok, bagus! “

Saat melihat gigi Rafifa, baru beliau berkomentar kalau dia kurang kalsium. Dan bisa dipenuhi dengan minum susu.

Lalu pak dokter menulis resep untuk Rafifa. Yang isinya penambah nafsu makan dan vitamin daya tahan tubuh.
Setelah konsultasi kami rasa cukup, kami mohon diri. Rafifa bersalaman dengan pak dokter dan bu perawat. Ada rasa lega yang membuncah, meskipun banyak PR yang harus ditunaikan.


Setelah melewati antrean panjang di kasir dan pengambilan obat, akhirnya kami pulang.

Itulah sekelumit cerita mama bertemu dokter anak untuk pertama kalinya. Pelajaran penting yang mama dapat hari itu adalah, mencari informasi dari pihak pertama atau ahlinya secara langsung itu jauh lebih  baik. Mbah google memang banyak sekali membantu mama mencari informasi selama ini. Namun kondisi setiap anak berbeda dan mbah google tidak tahu itu. Wkkk…

Sekian dan terimakasih. Semoga bermanfaat.
Kudus, 13 Maret 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer