KENAPA MEMILIH HOMESCHOOLING?

"Mama aku mau sekolah diluar, nggak mau dirumah!"
"Kenapa?"
"Aku kan sudah lima tahun Mama!"
"Kan dirumah sudah ada temannya sekolah Sa".
"Iya tapi yang dirumah untuk adik saja Ma! Aku mau sekolah diluar, boleh ya Ma?"

Pertanyaan Raisa hari itu tidak langsung saya jawab, saya sampaikan,

"Mama akan berdiskusi dulu dengan Ayah ya... Tunggu besok pagi!"
"Tapi jawabannya boleh ya Ma?", Pintanya sambil matanya berkaca kaca.

Sejujurnya malam itu saya sedang bimbang. Permintaan ini sudah berulang kali disampaikan Raisa. Tapi permintaannya kali ini agak berbeda. Dia terlihat sangat bersungguh-sungguh dengan keinginannya sekolah di luar. Beberapa kali dia terlihat sedih dan tidak menikmati kegiatan bermain bersama anak yang lebih kecil darinya di Rumah Sayang Anak.  Tak urung ini membuat saya bimbang. Akankah diusianya yang sudah menginjak lima tahun ini dia sekolah di luar. Dalam hati saya belum ikhlas, kalaupun dia harus bersekolah formal kami ingin menundanya sampai usianya tujuh tahun.

Tentu keputusan itu bukan tanpa dasar. Saya sepakat pendapat charlotte Mason (CM) bahwa,  "Urusan pertama dan terutama seorang anak di dunia adalah mencari tahu sebisa- bisanya lewat kelima inderanya apa saja yang menarik perhatiannya. Dengan cara ini akan tampil hasrat anak yang meluap luap akan pengetahuan". (CYB, h. 81)

Bermain eksplorasi di sawah bersama teman
Selanjutnya, CM juga mengatakan bahwa, "Setiap bayi terlahir dengan membawa banyak agenda belajar. Asal diberi kesempatan, otomatis dia akan mencari tahu berbagai hal menarik tentang dunia sekitarnya. Memaksakan target-target belajar lain dimasa perkembangan jiwa raga ya belum siap, membuat anak kelelahan dan justru menghambat perkembangan hasrat belajar alaminya" (CYB, 81-82)

Membantu mama di dapur juga menjadi sarana belajar
Lalu apakah dengan bersekolah kesempatan mencari tahu dengan kelima inderanya akan hilang? Perkembangan hasrat belajar alaminya juga akan hilang? 
Bukankah sekolah anak usia dini saat ini juga hanya bermain? 
Pertanyaan-pertanyaan itu tak urung membuat saya bimbang. Tidak apa-apa kan bersekolah, toh disekolah dia juga hanya bermain yang penting anaknya senang. Tidak, bagi saya tidak sesederhana itu. Kalau hanya bermain, insyaallah dirumah pun kami bisa memfasilitasinya. Uang masuk sekolah dan spp nya tiap bulan akan jauh lebih bermanfaat dibelikan buku-buku bermutu sebagai bacaannya. 

Saya tahu, keinginannya bersekolah lebih karena ingin seperti teman-temannya yang berangkat sekolah dengan memakai seragam dan bersepatu. Ini diungkapkannya berulang kali. Juga, karena seringnya dia di bully oleh teman-temannya. Beberapa kali saya mendengar temannya berkata,

"Kamu tuh males kok Sa, nggak mau sekolah, di rumah aja!"
Atau, 
"Sekolah itu nggak di rumah Sa, kalau di rumah itu nggak sekolah namanya!"

Bagaimanapun juga, bullying yang dilakukan teman-temannya sedikit banyak berpengaruh pada Raisa. Dan, kami tidak ingin menyekolahkannya hanya sekedar untuk menghindari bully dari teman-temannya. Namun, dia bersekolah benar-benar karena sudah siap lahir dan batin.

Selain itu, masih ada hal lain yang membuat saya masih enggan menyekolahkannya. Bagaimanapun sedikit banyak di sekolah meskipun sekolah usia dini pasti menerapkan sebuah sistem untuk mengatur murid-muridnya. Hal yang wajar, karena beberapa anak ditangani oleh satu atau dua guru untuk mempermudah proses belajar mengajar. Memangnya ada yang salah dengan itu? Tentu tidak. Namun sebelum usainya tujuh tahun saya ingin membiarkan anak-anak bereksplorasi bebas tanpa sebuah sistem yang membatasinya meskipun bukan berarti anak dibebaskan tanpa aturan. 

Seperti halnya yang diungkapkannya oleh CM yaitu, 
"Kelak setelah dewasa, setiap orang harus memenuhi banyak sekali tuntutan dan tenggat waktu, karena itu, baik kiranya membiarkan anak-anak merasakan periode kehidupan tanpa belenggu jadwal, berkegiatan bebas, melakukan yang suka mereka lakukan, sebelum mereka kehilangan kesempatan untuk itu. Tugas pertama seorang ibu adalah menjamin anak-anaknya memperoleh waktu bertumbuh yang tenang, hidup enam tahun penuh untuk menyerap segala sesuatu tanpa tuntutan. Biarlah tiap anak menikmati sepuas puasanya kemerdekaan dari struktur selama tahun-tahun pertama kehidupannya". (CYB, h. 82).

Lebih dari itu, dengan menghomeschoolingkan anak-anak saya jadi belajar kembali tentang perkembangan dan pendidikan anak usia dini. Mau tidak mau saya harus membaca dan membuka buku kembali. Hal ini yang membuat saya senang dan merasa tertantang. Saya tumbuh bersamanya.
Membaca buku bersama ayah
Berdasarkan alasan-alasan tersebut saya mantap menahan Raisa untuk tidak bersekolah dulu sampai usianya tujuh tahun. Kami bisa belajar dan bermain bersama di rumah. 

Setelah tujuh tahun, kami akan berdiskusi kembali bagaimana baiknya. Meskipun saya sendiri sebagai ibu didukung oleh ayahnya sudah mantap anak-anak bersekolah di rumah. Namun, saya juga tidak anti sekolah. Jikalau seiring waktu kami sadari perkembangan diri Raisa lebih cocok bersekolah formal dan kami menemukan sekolah yang sesuai dengan visi serta misi keluarga kami. Maka,  bersekolah formal dapat menjadi pilihan yang baik untuk anak-anak. Kami akan menghargai keputusan Raisa jika dia tetap ingin sekolah di luar.

Menurut saya apapun itu, sekolah di rumah atau sekolah formal tidaklah penting. Yang terpenting, pendidikan anak-anak adalah tanggung jawab utama orangtua. Sampai saatnya tiba, yaitu usia anak-anak 7 tahun. Maka mereka akan berada di rumah, bermain dan belajar bersama ayah dan mama. Memperat kelekatan antara orangtua dan anak, hal yang jauh lebih penting diberikan kepada anak dibawah usia 7 tahun. 
Kudus, 9 Januari 2019

#catatanhomeeducation

Komentar

  1. Seauaikan dgn kondisi anak mbak..

    Yang penting bukan sekolah atau tidak sekolah..

    Yang penting belajar, dimanapun tempatny :)

    BalasHapus
  2. Yup betul awkali Mbak Dian, terimakasih ya😘

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer