Bersikap Tenang Sebelum Bertindak

Siang itu kami pergi ke toko buku. Anak-anak membeli balon warna-warni. Dalam satu bungkus ada warna kuning, merah muda, oranye, biru dan ungu. Saya sampaikan kepada mereka bahwa balon ini untuk bermain bersama-sama. Sesampainya dirumah, saat baru selesai merapikan sepatu diluar. Saya mendengar terjadi keributan antara kakak dan adik. Rupanya mereka sedang memperebutkan balon warna merah muda. Badan kakak menindih badan adik berusaha merebut balon yang sedang dipegang adik. Si Adik menangis seraya tangannya mempertahankan balon merah muda. Saya angkat badan kakak dari badan adiknya, sambil berkata,
“Karena buat rebutan, balon nya Mama ambil dulu!”. Saya ambil balon tersebut dan saya simpan ditempat yang tidak bisa mereka jangkau. Keduanya menangis.

Akhir-akhir ini kejadian serupa sering terjadi. Hampir setiap hari ada keributan. Kakak si 4 tahun yang suka mengatur dan adik, si 2 tahun yang tidak suka diatur. Berebut mainan, berebut tempat tidur, berebut mama, berebut siapa yang masuk lebih dulu dan siapa yang keluar terakhir, berselisih paham tentang suatu hal dan lainnya. Apapun diributkan, yang berakhir dengan tangisan keduanya.

Dulu, jika hal seperti diatas terjadi reaksi saya adalah berteriak menyaingi tangisan mereka. Berteriak menyuruh mereka diam. Karena sungguh tidak menyenangkan mendengarkan tangisan  keras, membuat hati tambah kemrungsung. Setelah mereka diam, biasanya saya akan mengancam mengambil apapun yang mereka perebutkan. Ini efektif membuat mereka diam dan menuruti kemauan saya.

Suatu hari, saya melihat Si Sulung yang berteriak dan mengancam adiknya. Serasa berkaca dan ditampar berulangkali, saya sadar kesalahan yang saya lakukan selama ini. Berteriak dan mengancam tidak menyelesaikan apapun. Betul anak menjadi diam, tapi mereka masih memendam perasaan marah satu sama lain. Ini bisa saya lihat dari tatapan mata keduanya. Tatapan mata kemarahan. 

Sejak saat itu, saya mencari cara yang efektif untuk menyelesaikan keributan anak-anak tanpa berteriak dan mengancam. Menghadapinya dengan tenang adalah cara terbaik. Tenang versi saya adalah diam sejenak tanpa berkata dan bereaksi apapun. Dalam diam tersebut, ini yang coba saya lakukan. Saat ini, saya sedang belajar menggunakan teknik “Freeze-Frame" yang dikembangkan oleh Heartmath Institute. Caranya adalah :
  1. Mengenali perasaan yang muncul
  2. Bernapas menggunakan jantung (Heart Breathing) untuk menetralkan emosi.
  3. Mengaktifkan perasaan positif
  4. Bertanya
Praktek nya dalam kasus perebutan balon diatas,
  1. Perasaan yang muncul saat itu adalah jengkel. Rasa capek setelah bepergian ditambah keributan kecil yang menambah rasa capek. Kecewa karena anak-anak sudah diberitahu sebelumnya kalau balon nya untuk bermain bersama.
  2. Saya bernapas dengan pelan sambil mengucapkan istighfar terus menerus sampai diri merasa tenang.
  3. Setelah itu, saya mencoba mengingat perasan positif yang mereka lakukan saat mereka bersama. Misalnya saat mereka bermain bersama yang membuat saya tertawa geli, merasa bersyukur dan bahagia.
  4. Dan terakhir adalah bertanya, apa yang sebaiknya saya lakukan agar keributan ini mereda.

Agar lebih mudah, apa yang saya pikirkan coba saya gumamkan sebagai pengganti mengomel.
“Aduh masih capek, kenapa pada ribut ya. Wong tadi juga sudah dikasih tahu, mainnya buat sama-sama malah buat rebutan. Sambil menarik napas pelan serta beristighfar. Ah… biasanya mereka juga bisa main sama-sama. Diambil dulu saja wis balonnya, biar mereka nangis dulu apa engkel-engkelan dulu sampai ketemu kata sepakat”.

Meskipun tahapannya terlihat panjang, dalam praktek nya hanya butuh waktu kurang dari 1 menit.

Awalnya memang butuh waktu agak lama melakukan teknik ini. Seiring latihan yang saya lakukan setiap hari, sekarang jauh lebih mudah. Saya hanya butuh waktu untuk diam sejenak tanpa berkata dan bereaksi apapun. Sambil memperhatikan apa yang dilakukan anak - anak, membahayakan satu sama lain atau tidak. Juga menunggu tangis mereka reda.

Biasanya mereka menangis sambil mengatakan argumentasi masing masing. Saya akan berkata,
"Mama tunggu sampai semua tenang".
"Kalau masih mau menangis dulu silahkan!"
"Kalau semua sudah tenang baru kita selesaikan masalahnya. 

Setelah tangisan mereka reda, saya persilakan masing-masing anak mengutarakan argumentasinya. Baru kita cari solusinya. Solusi yang sama-sama baik untuk semua.

“Tadi waktu beli balon, Mama bilang apa?”, tanya saya
“Balonnya buat sama-sama Mama”, jawab Kakak
“Aku mau yang pink”, kata Adik.
“Aku juga mau yang pink”, seru Kakak tak mau kalah.
“Oke, semuanya mau yang pink, tapi pinknya hanya satu, trus baiknya gimana ya?”, tanya saya
Mereka diam.
“Kalau mau dua-duanya pink, berarti gantian, adik dulu apa kakak dulu”.
“Aku dulu!”, Adik dan Kakak menjawab serempak.
“Karena cuma satu, bisanya bergantian pegangnya, gimana?” tanya saya lagi
Mereka terdiam lagi.
“Oke, kalau nggak ada yang mau gantian, balon pinknya Mama simpan dulu, ambil balon yang lain saja ya”, lanjut saya.
“Ya mama, aku yang warna orange”, jawab Kakak.
“Adik mau warna apa?”, tanya saya
“Ungu”, jawab Adik.

Akhirnya balon pink tetap saya simpan, karena tidak ada kata sepakat antara keduanya. Namun kali ini berbeda, mereka bisa berdamai bukan karena teriakan dan ancaman saya. Tapi karena kami berdiskusi bersama mencari solusi yang disepakati bersama. Langkah awalnya dengan bersikap tenang, diam sejenak tanpa berkata dan bereaksi apapun.

Menurut saya, bersikap tenang adalah kunci awal berkomunikasi positif dengan anak. Bersikap tenang tidak muncul serta merta, butuh latihan. Bersikap tenang adalah sebuah ketrampilan yang harus terus diasah dan di latih terus menerus.
Kudus, 12 September 2018

Komentar

Postingan Populer