Menjadi Ibu, Sarana untuk Memperbaiki Akhlak

Setelah kurang lebih 4 tahun 10 bulan menjalani peran sebagai orangtua atau lebih tepatnya ibu, saya merasa bahwa peran ini adalah tentang diri sendiri. Dan ungkapan yang mengatakan bahwa "Musuh terbesar adalah diri kita sendiri" terbukti disini. Bagaimana tidak, menjalani peran ibu sama artinya mengelupas "borok" diri, menguak sisi gelap dan sisi terang diri kita sekaligus. 

Benarlah anjuran agama, menikahlah dengan orang yang berakhlak baik. Setidaknya orang yang sudah memiliki akhlaq yang baik akan lebih mudah menjalani perannya sebagai ibu.  

Misalnya tentang mengelola emosi, setidaknya orang yang sudah mampu mengelola emosi dengan baik akan jauh lebih mudah menghadapi runsingnya anak-anak setiap hari, cueknya suami atau ketusnya mertua.  Setidaknya saat kondisi tidak sesuai dengan yang diinginkan, ia mampu menahan diri untuk tidak berpikir negatif, marah-marah atau mengomel.
Namun, bukan berarti yang belum bisa mengelola emosi menjadi tidak layak untuk menikah atau menjadi ibu. Justru disinilah perjuangan dimulai. Perjuangan untuk menjadi seseorang yg berakhlak baik. Menikah dan memiliki anak adalah salah satu sarana untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Setiap hari dihadapkan dengan suami yang "cuek bebek". Akhirnya kita belajar berkomunikasi dengan baik, mengkomunikasikan apa yang kita inginkan dan harapkan tanpa menyinggung perasaan orang lain. Alih-alih menuntut suami lebih perhatian, kita dulu yang belajar untuk memberi perhatian.

Setiap hari dihadapkan dengan tingkah laku anak anak yang lucu nan menggemaskan yang terkadang juga menjengkelkan. Saat anak susah mandi, susah makan, berebutan, minta ini itu padahal masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Disinilah sarana untuk belajar mengelola emosi, alih-alih marah dan mengomel, belajar dulu menenangkan diri sebelum berbicara dan bertindak. Disinilah sarana kita untuk belajar memberikan disiplin positif pada anak, disinilah sarana untuk belajar memanage waktu agar pekerjaan domestik tetap tertangani, anak - anak juga tetap bisa terakomodasi.

Juga tentang kesabaran. Sabar bukan hanya tentang lemah lembut gemulai suaranya, tapi juga tentang sabar menunggu proses "belajar" anak-anak.  Saya memiliki dua orang anak perempuan yang sama "rempongnya" dengan mamahnya (bwuhaahaa). Setiap kali mau pergi meskipun jarak dekat, maka segala macam pernak-pernik barang miliknya harus dibawa serta, seperti tas, boneka, bantal guling untuk boneka, tempat minum. Itu bisa memakan waktu yang agak lama, padahal kita perginya juga tidak jauh dan harus bersegera.
Belum lagi saat ganti baju, pakai sepatu, pakai kaos kaki, saat makan ataupun saat mandi. Saya sebagai orang yang sangat...sangat tidak sabaran tentu sangat tersiksa dengan hal itu. Inginnya ya dibantu saja biar cepat, tapi kan nggal boleh gitu juga ya...nanti anaknya jadi tidak belajar mandiri. Disinilah karakter sabar saya ditempa bertubi-tubi (wk..wk...wk...)



Dan tentang konsistensi. Misalnya kita sudah menerapkan aturan untuk anak anak tentang menonton televisi. Aturan sudah ditetapkan bahwa menonton tv hanya boleh setelah tidur siang dan maksimal hanya 2 jam. Harus konsisten dong, biar anak respect terhadap kita dan aturan yang kita buat. Tapi satu waktu, konsistensi diuji. Badan sedang capek-capeknya bahkan hanya untuk sekedar menemani anak main pun rasanya sudah tidak ada energi. Akhirnya tergoda untuk membiarkan anak menonton televisi pagi-pagi, setidaknya itu bisa membuat anak tenang dan kita bisa istirahat. Esoknya, jangan salahkan anak jika dia "menabrak" aturan yang telah dibuat karena ketidakkonsistenan kita.

Contoh lain, anak anak tidak diizinkan makan permen, satu waktu dirumah tetangga dia diberi permen. Ewuh mau nolak, tapi kalo diizinkan besok nagih lagi, gimana dong? Konsistensi diuji lagi. Begitulah setiap hari bersama anak adalah ujian konsistensi, untuk berpegang teguh pada prinsip dan aturan yang telah dibuat. Dan bisa jadi ini adalah latihan-latihan kecil untuk melatih konsistensi kita terhadap prinsip hidup kita.

Tentu masih banyak hal yang bisa menjadi sarana untuk menjadi lebih baik.
Menjadi istri dan ibu adalah salah satunya. Apapun peran yang kita jalankan saat ini sesungguhnya adalah sarana. Sarana untuk terus memperbaiki akhlak, menjadi hamba kesayangan Allah.
Alhamdulillah
Kudus, 05 Agustus 2018

#Day
#Odopfor99days2018




Komentar

Postingan Populer