Menjadi Berbeda Memang Tidak Mudah

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang. Saya mengira tahun ini akan turut dalam euforia tersebut karena satu pekan yang lalu sempat galau antara mau menyekolahkan Raisa atau tidak. Raisa saat ini berusia 4,7 tahun, yang menurut beberapa orang adalah usia yang tepat untuk masuk TK.


Kenapa sempat galau?
Karena beberapa kali baik saat mudik atau silaturahmi atau saat bertemu tetangga, Raisa mendapat pertanyaan, “Sudah sekolah ya?”, “Sekolah dimana? “. Tak urung hal tersebut membuat Raisa “ngegeri” minta sekolah. Rengekannya tak urung juga membuat saya galau. Antara ingin menyekolahkannya atau sekolah di rumah saja. Antara percaya diri dan tidak percaya diri menjalani homeschooling. Akhirnya setelah berdiskusi panjang dengan suami dan berusaha refleksi mengukur kemampuan bersama serta mengingat kembali  visi dan misi pendidikan keluarga kami  Bismillah, akhirnya kami putuskan untuk tidak menyekolahkan nya dulu saat ini.

Pertanyaan, Raisa kelas berapa?, sekolah dimana? Memang semakin sering ditanyakan baik oleh tetangga maupun saudara karena usia Raisa memang sudah masuk usia TK. Dulu saya akan menjelaskan alasan kenapa Raisa tidak sekolah dengan panjang lebar, diantaranya,
“Saya belum menemukan sekolah yang pas, jadi sekolah dulu dirumah sama saya. Karena sekolah sekarang ni bla…
Bla... Bla…

Pernah satu kali saya menjawab pertanyaan tetangga dengan jawaban diatas. Setelahnya saya merasa tidak enak hati, setelah saya teliti ternyata ada sedikit rasa pamer, “ini lho aku berbeda!”, “ini lho aku menjalani homeschooling”, “ini lho aku bisa mendidik anakku sendiri”. Astagfirullahhalazim.
Saya merasa menyesal dan tak henti-hentinya memikirkan hal itu selama berhari-hari. Sejak saat itu, setiap mendapat pertanyaan tentang sekolah Raisa saya hanya menjawab “Iya sekolah dirumah dulu”, tanpa berpanjang lebar menjelaskan alasannya.

Menjadi berbeda memang tidak mudah.  Disatu sisi kita harus siap dengan pandangan yang berbeda dari orang lain. Di sisi lain kita juga harus siap dengan perasan kita sendiri, menjaga perasaan sendiri agar tidak larut dalam kesombongan, merasa bahwa keputusan yang diambil adalah yang paling benar dan orang lain salah.

Oleh karena itu, menyiapkan mental adalah hal yang utama. Meskipun berbeda dengan kebanyakan orang, tetapi siap menerima anggapan dan pandangan orang lain. Tapi yang paling utama adalah siap untuk tetap rendah hati. Bahwa kita berbeda bukan untuk mencari perhatian, bukan agar “dipandang” atau “dianggap” hebat dan keren tetapi karena apa yang kita lakukan memang sudah menjadi keputusan keluarga dan sesuai dengan visi dan misi keluarga. Setiap keluarga unik dan berbeda dan berhak memutuskan yang terbaik untuk keluarganya.

Seperti halnya keputusan kami untuk menjalani sekolah rumah untuk Raisa dan Rafifa, sementara kebanyakan orang menyekolahkan anaknya sejak dini. Keputusan ini diambil murni karena visi misi pendidikan keluarga kami. Pertanyaan apapun dari siapapun harus kami terima dengan lapang dada dan tidak membuat kami goyah untuk tetap berdiri tegak pada pendirian. Pun juga kami harus menyiapkan diri untuk tidak sombong, merasa paling benar dan merasa mampu mendidik anak kami sendiri.

Menjadi berbeda memang tidak mudah, seperti halnya setiap keputusan akan selalu ada konsekuensi. Selalu percaya diri selama tetap berada di jalan-Nya. Selalu rendah hati untuk terus memohon petunjuk-Nya. Selalu semangat untuk belajar dari manapun dan dari siapapun. Semoga Allah selalu berkenan memampukan kami mengemban amanah-Nya. Aamiin
Kudus, 18 Juli 2018

#Day
#Odopfor99Days2018
#Refleksikelurgasandaljepit

Komentar

Postingan Populer