Cerita mudik 2018: Merajut Silaturahmi



Tahun ini kami memutuskan  mudik dihari ke-4 idul fitri.  Alasannya sederhana,  agar kami bisa bertemu dengan lebih banyak saudara.  Tahun Tahun sebelumnya,  kami tidak bisa berkumpul dengan saudara saudara sepupu karena di awal idul fitri mereka juga harus bersilaturahmi dengan mertua mereka yang ada di luar kota.  Padahal,  saya ingin mengenalkan kepada Raisa dan Rafifa, putri-putri sepupu yang rata-rata seusai mereka  agar persaudaraan tetap terjalin  sampai anak cucu.  

Senin pagi pukul 04.00 dini hari tanggalnya 19 juni 2018 kami berangkat dari rumah.  Jalanan cukup lengang sehingga perjalanan kami berjalan lancar sampai alun-alun Juwana untuk sholat subuh di masjid Agung Juwana.  Selepas sholat subuh kami menikmati teh hangat yang disediakan masjid untuk para jemaah yang rata-rata juga pemudik seperti kami.  

Perjalanan kami lanjutkan dengan menikmati mentari yang mulai malu-malu menampakkan diri. Karena masih pagi perjalanan kami cukup lancar, hingga kami sampai di Lamongan pukul 07.00 pagi. Kami berhenti di rumah makan langganan kami setiap kali mudik untuk sarapan dan mandi pagi. Pukul 08.00 kami mulai lagi perjalanan, dengan melewati jalan tol Gresik dan mencoba tol baru Pasuruan. Rupanya ini cukup menyingkat waktu perjalanan kami hingga kami sampai di sebuah Masjid di Probolinggo pukul 12.00 untuk Sholat dzuhur dan makan rujak cingur serta teh naga.

Sekitar pukul 13.30 kami lanjutkan perjalanan ke Kota Jember untuk bersilaturahmi dengan para paman (adik ibu). Sampai di rumah Pak Huri pukul 15.30. Anak-anak terlihat senang karena selain ada kucing kesayangan, mereka juga bisa bertemu dengan putri-putri sepupu saya. Puas bercengkrama dan bermain, kami bersama-sama pergi ke rumah Pak Sholeh dan Pak Anshor. Setiba di rumah Pak Anshor sudah malam kami putuskan untuk mengubah, meskipun Raisa ingin segera sampai di rumah kakeknya di Jajag.

Esok harinya, setelah sarapan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi. Dan yang selalu menyenangkan adalah melewati Gumitir, sensasi jalannya yang berkelok-kelok dan pemandangannya yang memanjakan mata tak pernah membosankan. Sepanjang perjalanan kami menemukan sungai yang airnya masih jernih dan bersih. Sampai-sampai Raisa berkomentar, “Mama, sungainya bersih ya, nggak kayak di Kudus, orang-orang nggak buang sampah sembarangan ya Ma!”.
Sebelum ke rumah Nenek buyut, kami mampir dulu ke rumah  Almarhum Pakde Dar (kakak Bapak) yang ada di Warung. Di sini kami menemukan lagi sungai bersih yang airnya segar dan mengalir deras. Tak melewatkan kesempatan kami biarkan anak-anak bermain di sungai. Di rumah Pakde Dar, kami disuguhi nasi jagung yang akhirnya membuat saya terinspirasi untuk menirunya di rumah karena ternyata rasanya enak sekali.

Hari sudah mulai petang, kami segera pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Blok Agung rumah nenek buyut. Sampai disana, sudah hampir Magrib. Rumah nenek sangat sepi karena memang Nenek tinggal sendiri, padahal beliau dalam kondisi sakit dan tidak bisa berjalan. Bukan karena anak-anaknya mengabaikannya, namun karena memang Nenek keukeh tidak mau meninggalkan rumah kesayangan ya. Meskipun tak lelah anak dan cucunya membujuk agar Nenek mau tinggal dengan salah satunya. Karena Nenek tidak mau akhirnya anak dan cucu ya bergantian menjaganya meskipun tidak full karena masing-masing juga sudah memiliki keluarga.

Selepas dari rumah Mbah Buyut, kamu melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi kota, ke rumah Mbak iik untuk bersilaturahmi dengan Pakde Priyanggono dan Budhe Is yang sekarang tinggal bersama mereka. Hari ini hari Rabu, kami sudah janjian dengan para sepupu Jember untuk kumpul bersama di rumah Pakde sebagai kakak tertua Ibu. Senang melihat beliau masih sehat walfiat di usia senjanya. Senang juga akhirnya kami bisa berkumpul bersama dengan seluruh Paklik dan saudara-saudara sepupu yang entah sudah berapa tahun kami tak bersua. Tak  salah keputusan kami memundurkan jadwal mudik, bisa bertemu dengan lebih banyak saudara.

Sorenya kami baru pulang ke Jajag, untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah Jajag setelah berhari-hari menjadi Traveler. Ha.ha...agak aneh mungkin ya, kalau orang lain mudik ingin segera sampai di rumah, kami justru sebaliknya. Bukan tanpa alasan, rumah Jajag yang kosong tak berpenghuni karena Bapak juga ikut tinggal bersama kami di Kudus pastinya berdebu dan kotor. Butuh usaha lebih untuk membersihkannya, sementara kami hanya sebentar saja pulang. Akhirnya kamu putuskan untuk menikmati saja perjalanan mudik ini dengan tetap berpegang pada tujuan utamanya yaitu bersilaturahmi. Sehingga kami tidak mau terbebani dengan urusan bersih - bersih rumah yang pastinya akan butuh banyak energi. Meskipun  akhirnya kami tetap harus pulang ke rumah Jajag karena rasa kangen saya dan anak-anak dengan suasana rumah. Malam itu kami bergerilya membersihkan rumah agar layak ditempati untuk sementara. Wis… Yang penting bisa buat selonjoran, meluruskan punggung.

Saya senang anak-anak cepat beradaptasi dan terlihat betah di rumah Jajag. Mungkin mereka juga merasakan bahwa ini adalah home sweet home seperti apa yang dirasakan Mamanya. Apalagi Raisa dia senang di rumah Jajag karena ada banyak mainan di belakang rumah milik TK yang bisa dia mainkan kapanpun. Ditambah sekarang dia  tertarik dengan “mainan baru” yaitu menimba air dari sumur sebelum mandi dan mandi dengan disiram langsung memakai ember yang berisi air hasil timbanya. Aktivitas yang membuat dia bersemangat mandi.

Hari kamis pagi, kami pergi bersilaturahmi ke rumah bulik-bulik (adik-adik Bapak) yang ada di Dungrejo. Sengaja kami berangkat pagi, agar bisa sarapan di rumah Bulik. Kangen masakan rumah yang rasanya endes pedes. Selain senang karena mendapat sarapan dan makan siang rumahan yang enak, kami juga senang karena akhirnya bisa berkumpul dengan saudara sepupu dan putra-putrinya yang sudah lama tidak bersua. Tak butuh waktu lama bagi Raisa dan Rafifa untuk beradaptasi, karena usia mereka dengan saudara-saudaranya yang tidak terpaut jauh.
Bersambung…

#Day
#Odopfor99days2018
#Ceritamudik2018

Komentar

Postingan Populer