Review Workshop : Habit of Obedience

Saat di perjalanan,
Raisa : “Ayah kenapa jalannya muter-muter?”
Ayah : “Karena memang aturannya begutu Ca!”
Raisa : “Kenapa?”
Ayah  : “Ya kita ini kan dijalan, jadi kan harus ikuti aturannya pak polisi!”. “Kalau kita dirumah ya ikuti aturannya Ayah sama Mama”. “Kalau di rumah orang ya ikuti aturanya orang itu!”

Mendengar perbincangan mereka, saya jadi ingat tentang materi Workshop Habit of Obedience  dengan pemateri Mbak Ellen Kristi beberapa waktu lalu yang belum sempat saya review.



Dan berikut ini reviewnya:

Saat melihat anak-anak begitu sulit diatur atau istilah umumnya "nakal", yuk cari tahu sebenarnya kenapa atau apa yang terjadi?
  1. Anak belum bisa menahan dirinya
  2. Yang kita minta tidak sesuai dengan keinginannya
  3. Anak menguji kesabaran orangtua
  4. Anak ingin tahu respon orangtua
  5. Anak mencari perhatian
  6. Anak merasa terancam
  7. Anak merasa benar
  8. Anak belum cukup paham diri.

Anak-anak seperti halnya orang dewasa adalah pribadi yang utuh, mereka tidak 100% baik juga tidak 100% buruk tetapi memiliki potensi keduanya. Anak-anak memiliki perasaan, pikiran, dan caranya sendiri. Mereka memiliki potensi naluri yang baik sekaligus yang buruk, oleh karena itu anak perlu diarahkan karena dia belum sepenuhnya tahu mana yang baik dan harus dipertahankan dan mana yang buruk yang harus ditinggalkan.

Misalnya saja, anak-anak suka berlari-lari, naik turun, melompat. Namun naik turun meja, berlarian saat makan, melompat diatas kepala teman adalah hal yang tidak dibenarkan, anak harus diberitahu bahwa itu tidak boleh karena tidak sopan. Contoh lain, anak suka makan yang manis semacam permen, lolipop, biskuit dan sejenisnya, its oke anak-anak suka makan tapi makan-makanan yang tidak sehat berbahaya bagi tubuh mereka. Disini mereka butuh kontrol untuk tahu mana yang baik dan mana yang tidak.

Oleh karena itu, dibutuhkan habit of obedience atau kebiasaan untuk taat semenjak kecil. Ibu atau orangtua yang menanamkan kebiasaan taat sejak kecil akan lebih mudah dalam mendidik anak saat anak beranjak besar. Sebaliknya, jika anak tidak dibiasakan taat sejak kecil, menjelang besar akan sering terjadi “gesekan" dengan orangtua, saat kita minta anak “lakukan ini" dan mereka tidak melakukannya, “lakukan itu" dan mereka melakukan yang lain.

Lalu apakah artinya kita menjadi orangtua yang otoriter saat kita menanamkan kebiasaan taat pada anak?

Tentu tidak karena ada prinsip otoritas-ketaatan yang harus kita perhatikan, yaitu :

  1. Natural
Artinya : ada dialam atau disebabkan oleh alam; tidak dibuat atau disebabkan oleh manusia.
Jadi prinsip ketaatan itu sudah ada di dalam diri anak, menunggu untuk di stimulasi melalui latihan. Tidak dengan cara memberi “iming-iming” pada anak, mengancamnya, atau menggunakan cara-cara kekerasan karena orangtua “diberi" otoritas yang secara intuitif di akui oleh anak.

  1. Necessary
Artinya : diperlukan / diperlukan untuk mencapai efek atau hasil yang diinginkan.
Ketaatan adalah kewajiban manusia; kepatuhan pada hati nurani; pada hukum; pada arahan Illahi. Kehidupan yang tidak mematuhi kondisi seperti itu telah keluar dari orbitnya dan tidak berguna bagi masyarakat.

  1. Fundamental
Artinya : berfungsi sebagai fondasi, dasar dari suatu sistem atau struktur.
Ketaatan adalah kewajiban seluruh anak dan oleh karena itu setiap tugas lain dari anak akan terpenuhi sebagai bentuk ketaatan pada orangtuanya.

MELATIHKAN KEBIASAAN TAAT BUKAN PILIHAN

Karena jika bukan kita sebagai orangtua yang membangun otoritas pada anak, maka orang lain yang akan melakukannya dan bisa jadi itu merusak.

Didalam diri anak-anak ada kekuatan besar yang siap dinyalakan, entah itu oleh otoritas anak sendiri maupun otoritas dari luar anak. Ibu tidak memiliki tugas yang lebih penting kecuali melatihkan bayinya untuk taat.

BAGAIMANA CARANYA?

  1. Expect Obedience

  • Dimulai dari diri sendiri.
Misal : Kita ingin anak-anak duduk saat makan dan minum, maka kita pun harus melakukannya. Kita ingin anak-anak selalu memakai helm saat berkendara, maka kita pun harus melakukannya. Kita ingin anak-anak bangun pagi, maka kita pun harus melakukannya. Kita ingin anak-anak merapikan tempat tidur setelah bangun, ya kita pun juga harus melakukannya. Apapun yang kita ingin anak melakukannya, kita pun juga harus melakukannya. Bukan hanya sekedar memberi perintah dan aturan tapi juga contoh nyata.

  • Berikan perintah dengan nada yang kalem tapi tegas dan pastikan kalau sudah memberi perintah, anak mengerjakannya.
Misal : Setelah bermain kita ingin anak merapikan mainnya. Tapi ternyata anak tidak merapikannya dan ditinggal begitu saja karena kita hanya menyuruhnya tanpa memdampinginya. Kita menyuruhnya merapikan mainan sementara kita sibuk melakukan hal yang lain. Lalu apa yang harus dilakukan? Dampingi dulu anak sampai dia selesai merapikan mainan. Jadi bukan hanya sekedar perintah yang asal bunyi tapi sekaligus kita memastikan perintah itu dilaksanakan. Seiring usianya dia akan terbiasa merapikan mainan setelah bermain.

  • Ibu akan kehilangan kendali atas anaknya karena anak mampu mendeteksi nada suara, raut muka, gesture tubuh bahwa ibu tidak sungguh-sungguh dan tidak percaya diri dengan posisinya dan otoritasnya sendiri.
Misal : Saat anak menonton TV atau HP. Kita minta anak mematikannya karena waktu menontonnya sudah selesai. Tapi kita menyuruh anak dengan ragu-ragu karena sebenarnya kita belum siap menemani anak bermain sebab tugas domestik belum selesai. Anak mampu mendeteksi “keraguan” kita yang efeknya tidak menaati perintah kita. Entah dengan cara bernegoisasi atau menolaknya secara langsung.

2. Yang tidak boleh dilakukan saat menerapkan Habit of Obedience :
  • Tidak ada kekerasan
  • Tidak ada ancaman
  • Tidak ada teriakan
  • Tidak ada omelan
  • Tidak ada nasehat/menggurui
  • Tidak ada mempermalukan
  • Tidak ada menyalahkan

3. Element penting apa yang harus dimiliki?
  • Prinsip yang kita yakini
  • Aturan yang ingin anda jaga
  • Percaya diri
  • Kontrol diri
  • Kelekatan
  • Pengetahuan tentang perkembangan anak
  • Kemampuan komunikasi
  • Konsistensi
  • Contoh/teladan

Pada akhirnya point-point diatas kembali kepada orangtua. Orangtua harus banyak belajar memanage diri, memanage emosi sekaligus belajar komunikasi positif. Raising children indeed raising yourself.



Ketahui perbedaan antara Menawarkan VS Perintah

Menawarkan
Disajikan untuk penerimaan atau penolakan, diusulkan untuk dipertimbangkan.
Contoh : “Mau mandi sekarang apa nanti?”

Perintah
Memberi perintah, menjalankan perintah otoritatif atas seseorang.
Contoh : “Waktunya mandi, silahkan mandi!”

Dalam konteks membangun kebiasaan untuk taat, perintah jauh lebih baik daripada penawaran.

Lalu bagaimana caranya memberikan perintah yang benar?

SELECTIVE COMMAND

Untuk mengamankan kebiasaan kepatuhan ini, ibu harus melatih diri sendiri, dia tidak boleh memberikan perintah yang tidak ingin dia lihat sepenuhnya. Jadi kita harus yakin betul dengan perintah yang kita berikan pada anak. Siap mendampinginya melaksanakan perintah tersebut.

SESEDIKIT MUNGKIN
Ibu tidak boleh membiarkan anak terbebani, memikul tanggung jawab, menumpuk 1 perintah di atas perintah lain. Rumah tangga yang bahagia adalah yang memiliki sedikit aturan dan bukan pada “sesuatu yang ibu suka" dan yang ““ayah inginkan" karena itu akan menghambat. Fokus pada satu kebiasaan yang ingin kita bangun pada satu waktu. Aturan yang dibuat bukan berdasarkan “nafsu" atau keinginan orangtua semata tapi ada dasarnya, misal dasar aturan agama, norma masyarakat, atau hukum negara.

Otoritas orangtua bersifat sementara. Dari usia ketaatan yang tidak perlu dipertanyakan sampai sepenuhnya anak mampu mengembangkan kehendaknya sendiri.

Anak-anak harus memiliki keinginan untuk taat. Hanya proporsional jika keinginannya untuk taat dan patuh karena dia menggunakan haknya untuk patuh dan menggunakan kehendaknya untuk mengabaikan godaan ketidaktaan.

Bukan karena paksaan tapi dengan ikhlas.
Kebiasaan itu telah terbentuk yang selanjutnya akan mendorongnya untuk menggunakan kekuatan kehendaknya terhadap kecenderungan ketika hal ini mendorongnya ke arah yang tanpa hukum. Anak-anak yang terbiasa taat sejak kecil, akan memiliki kontrol atas dirinya.

Tantangan sebenarnya ada pada dirimu (orangtua). Orangtua kita yang menjadikan kita orangtua seperti saat ini. Apakah anda bersedia menghadapi masa lalu anda sendiri, berdamai dengannya dan melampauinya.

INGIN MENJADI ORANGTUA SEPERTI APA KITA?

ROCK
Orangtua yang hangat, peduli, penuh kasih sayang, menerima, peka dan responsive terhadap kebutuhan anak, stabil, konsisten, dan dapat diandalkan.
Hubungan yang terjalin adalah jujur, terbuka, mendorong kemandirian dan ekspresi diri. Komunikasi yang mudah, anak-anak merasa di cintai, aman dan penting.

ROLLER-COASTER
Orangtua yang ambivalent (baik saat gembira dan menghukum saat stress), suka mengkritik, dominan, tidak peka,mencegah pengambilan resiko dan kemandirian, cintanya bersyarat.
Anak merasa tidak dihargai, anak-anak biasanya merasa membutuhkan, melekat, tergantung dan merasa tidak aman.

TOWER
Orangtua yang menyendiri, dilepaskan secara emosional, terserap diri, tidak perduli pada kebutuhan anak, mencegah tangisan, mendorong kemandirian dini. Keintiman dihindari atau diberhentikn sebagai tidak penting. Hubungannya mengosongkan emosi yang mendalam.

Pada akhirnya mengetahui posisi kita saat ini, sebagai orangtua Rock, Roller-coaster atau Tower menjadi penting. Selanjutnya mulai menetapkan tujuan mau menjadi orangtua yang seperti apa. Mulai memperbaiki diri dan berbenah diri, bertumbuh bersama anak-anak menjadi pribadi yang positif dan selalu taat kepada penciptaNya.
Kudus, 10 Juni 2018

#Day
#Odopfor99days2018
#Mengikatilmu
#Workshop
#Habitofobedience

Komentar

Postingan Populer