Ketaatan Anak Kepada Orangtua, Yeay or Nay?



Peristiwa pertama,
Hari sudah larut, saatnya untuk pulang dari bertamu,
Ibu : "Ayo mas, ini sudah malam waktunya untuk pulang!"
Anak : "Tidak mau, aku mau disini dulu!"
Ibu : Ini sudah malam mas, waktunya pulang!"
Anak : "Tidak mau!" (sambil berteriak-teriak dan memukul-mukul ibunya).
Akhirnya ibunya mengalah, menuruti kemauan anaknya sampai si anak mau pulang.

Peristiwa 2,
Saat menemani anak belajar,
Anak : "Mama, aku tidak mau belajar".
Ibu : "Duduk, dan kerjakan PR nya atau Mama cubit nanti pantatnya!".
Anak terdiam, menuruti kata-kata ibunya dengan rasa takut.

Peristiwa diatas tentu saja hanya rekaaan, namun dalam keseharian dalam versi yang berbeda sering kita temui setidaknya dua model mengasuh dan mendidik anak.

Model yang pertama, sering disebut dengan children centered yang lebih mengutamakan kegembiran, kesenangan, dan keinginan anak dalam mendidik dan mengasuh. Orangtua kehilangan kontrol atas anaknya.

Model yang kedua, sering disebut dengan parent centered yang lebih menekankan bahwa orangtualah yang paling tahu kebaikan untuk anak. Jadi orangtua berhak mengatur, memilihkan dan memutuskan apa yang terbaik untuk anak. Orangtua memiliki kontrol penuh atas anaknya.

Sebagai ibu, saya akui bahwa menjadi orangtua bukan hal yang mudah. Mendidik dan mengasuh anak bukan pekerjaan yang remeh temeh dan ringan. Tanggung jawabnya sangat besar. Agar dapat menjalankan tanggung jawab yang luar biasa besar itu, orangtua harus memiliki kekuasaan dalam takaran tertentu.

Menurut Charlotte Mason dalam butir ketiga filsafat pendidikannya, adanya otoritas dipihak orangtua dan ketaatan dipihak anak adalah syarat mendasar agar rumah tangga berfungsi dengan baik. Respek dan ketaatan anak kepada orangtua merupakan kondisi yang harus dipertahankan dan dilatih sejak dini.

Dalam Alquran pun jelas, ada beberapa ayat yang menjelaskan kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya, yaitu QS. Al-Israa :23-24, QS.  An-Nisaa :36, QS. Al-Ankabuut: 36 dan QS. Lukman :14-15. Yang salah satu unsur berbakti adalah taat kepada orangtua pada hal yang diperintahkan oleh Allah.

Menurut Ellen Kristi dalam bukunya, pendirian Charlotte Mason dinamakan principle-centered parenting, relasi orangtua dan anak yang berpusat pada prinsip. Yang berkuasa bukanlah orangtua ataupun anak, melainkan hukum-hukum alam, hukum universal, hukum Tuhan, dan kebenaran. Perintah apapun yang dilontarkan oleh orangtua hanya layak ditaati oleh anaknya jika perintah itu mengandung kebenaran.

Misalnya aturan "screen time" dirumah kami. Saat adzan terdengar, maka saatnya untuk mematikan TV. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Atau saat menjelang Adzan Magrib segala kegiatan bermain diluar rumah harus dihentikan, saatnya masuk rumah menutup pintu, mendengarkan adzan dan bersiap sholat magrib berjamaah. Saat naik motor, wajib memakai helm baik jarak dekat ataupun jarak jauh. Atau saat sebelum tidur wajib untuk menggosok gigi. Dalam hal-hal diatas, kami menuntut kepatuhan anak tanpa syarat. 




Dalam principle-centered parenting, orangtua dan anak duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dihadapan Hukum. Itu artinya orangtua dan anak sama-sama melaksanakan aturan yang telah ditetapkan. Anak melihat secara langsung perilaku taat pada aturan yang diteladankan oleh orangtua. Sehingga motivasi ketaatan anak adalah karena dasar agama dan hukum yang berlaku, bukan hanya karena perintah orangtuanya. Anak secara sukarela taat kepada orangtuanya karena anak yakin apa yang diperintahkan oleh orangtuanya adalah hal yang baik menurut agama, juga karena anak tahu bahwa itu karena kasih sayang orangtuanya.

Nah di sinilah di butuhkan pondasi yang kuat sejak bayi agar anak taat pada orangtua. Dan kunci pertamanya ada pada kelekatan antara ibu dan anak.

Menurut Stilwell et.al., kelekatan aman pada bayi berperan dalam proses “moralization of attachment" (moralisasi kelekatan), yaitu ketika bayi selalu mendapatkan respon dan empati dari ibunya, bayi akan memiliki “kewajiban moral" untuk mematuhi aturan-aturan dan nasihat yang diberikan oleh ibunya. Ketika bayi merasa memiliki kewajiban moral ini, semua nilai-nilai yang didapatnya terinternalisasi  (tertanam dalan benaknya) menjadi standar moralnya. Bayi akan menggambarkan dirinya sebagai “pemegang amanah moral". Melalui proses inilah nurani anak berkembang, yaitu timbulnya perasaan bersalah apabila melanggar ketentuan, dan mempunyai komitmen untuk memegang prinsipnya. Aspek nurani meliputi segala prinsip berkaitan dengan benar-salah, bagus atau buruk, boleh-tidak boleh yang semuaya ini akan menjadi sistem kepercayaan (belief sistem) yang mengarahkan diri untuk berperilaku pro sosial.



Setelah hak anak-anak saat bayi kita penuhi yaitu kelekatan (attachment), maka akan lebih mudah untuk anak taat terhadap orangtua saat dia lebih besar. Namun bukan berarti orangtua bisa sewenang-wenang terhadap anak. Terdapat batasan yang jelas terhadap otoritas orangtua yaitu kedudukan anak sebagai pribadi yang unik, istimewa dan berharga. Menaruh respek kepada kepribadian anak berarti orangtua secara tulus memberi ruang kepada anak untuk menjadi dirinya sendiri, menghargai hak anak untuk memilih dan menjadi individu yang autentik. (Ellen Kristy, Cinta Yang Berpikir).

Saat mematikan TV misalnya, kami berikan pilihan anak mau mematikan sendiri atau kami orangtuanya. Saat menjelang magrib kami berikan warning time, 5 menit atau 1 menit sebelumnya untuk masuk rumah. Disinilah seninya membuat anak taat tanpa kita melanggar privasi mereka.

Orangtua dianggap melanggar batas-batas otoritasnya jika ia mulai memanipulasi rasa takut anak, misalnya, ("Kalau kamu nggak nurut, Mama nggak ajak kamu pergi!")

Memanipulasi rasa cinta atau kekaguman anak terhadapnya ("Kalau kamu sayang mama, turuti kata-kata Mama")

Mengeksplorasi atau mempermainkan hasrat yang dirasakan anak demi memenangkan ketaatan anak ("Mama belikan baju, kalau kamu mau nurut  perintah Mama").


Sebenarnya ledakan amarah, ancaman, atau penggunaan kekerasan apa pun tidaklah diperlukan apabila orangtua memahami betul esensi dan cara menggunakan otoritasnya. Oleh karena itu orangtua membutuhkan ketrampilan dalan hal ini, yaitu ketrampilan berkomunikasi efektif dan menerapkan disiplin positif pada anak. Kedua ketrampilan tersebut dibutuhkan agar orangtua mampu mengatur anak tanpa anak merasa ditindas, supaya anak-anak merasa memutuskan untuk taat atas kemauan mereka sendiri dan dengan senang hati.

Kesimpulannya, dalam mendidik dan mengasuh anak, otoritas orangtua dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan kepatuhan agar hidup anak tetap berjalan pada jalur yang tepat. Otoritas yang berbatas dan tidak semena-mena. Otoritas yang digunakan dengan bijak yaitu memenuhi hak anak terlebih dahulu sebelum menuntut anak untuk taat, serta bijak menggunakan otoritasnya, bukan karena egonya namun lebih karena taat kepada kebenaran yang hakiki. Tiga point penting berkaitan dengan hal ini , pertama kelekatan dengan anak, kedua menerapkan komunikasi efektif dan ketiga menerapkan disiplin positif. Dengan memenuhi hal-hal tersebut diharapkan hidup anak akan berjalan dengan baik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Kudus, 31 Januari 2018

#Day8
#Odopfor99days2018
#Renunganpendidikandanpengasuhan

#funparenting







Komentar

Postingan Populer