Mama, Kapan Kita Meninggal?



Suatu siang saat menikmati semilir angin diteras rumah, Raisa bertanya kepada Mama,

R :"Mama, kapan kita meninggal?"
M :"Mama nggak tahu Ca"
R :"Kok Mama nggak tahu?"
M :"Iya, Mama nggak tahu karena itu rahasia Allah"
R :"Mama baca buku tho, biar tahu!"
M :"Dibuku tidak ada Ca, karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal!"
Raisa terdiam, diam dalam ketidakpuasan atas jawaban Mamanya. Sampai beberapa saat dia masih mengulang pertanyaan yang sama, dan dia masih mendengar jawaban yang sama dari Mamanya. Pertanyaan yang membuat hati Mama berdesir. Dan pada akhirnya, kami sama-sama terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Hari-hari sebelumnya dia bertanya tentang sakit dan sehat,
R :"Mama, kenapa kita sehat?"
M: "Karena Allah kasih kita sehat!"
R :"Kenapa kita sehat terus Ma, kenapa nggak sakit?"
M :"Ya...karena Allah kasih kita rezeki sehat Ca, sehat itu rezeki dari Allah Ca, sama seperti makanan yang kita makan itu juga rezeki dari Allah".
Raisa terdiam, entah dia puas dengan jawaban Mama atau tidak, karena pertanyaan itu masih dia tanyakan lagi dan lagi.

Sampai lusa kemarin dia sakit. Radang tenggorokannya kambuh. Sakit yang membuatnya lunglai tak berdaya. Sakit yang membuat matanya sayu tak bergairah pada apapun. Sembari mengelus rambutnya saya bertanya,
M :"Enak mana Ca, sehat atau sakit?"
R :"Enak sehat Mama!"
M :"Iya...kita harus bersyukur saat sehat dengan menjaga kesehatan kita".
Dia terdiam, entah paham atau tidak dengan penjelasan Mama. Tapi semoga sakitnya kali ini memberikan pembelajaran yang berharga untuknya tentang sehat dan sakit.

Karena esoknya saat mengambil makanan dari dalam lemari es, Raisa bertanya terlebih dahulu kepada saya, "Mama, ini nunggu dingin dulu ya?" (Maksudnya menunggu makanannya tidak terlalu dingin). Sebelum-sebelumnya kalau diingatkan untuk tidak makan makanan dingin, Raisa akan "ngeyel", tapi kali ini dia justru bertanya. Dan saat saya sampaikan bahwa dia belum boleh makan makanan yang dia ambil dari lemari es, dia "manut" saja dan meletakkan makanan tersebut diatas meja.

Masih tentang kematian, sakit dan sehat. Kali ini Mama yang mendapat pembelajaran.

Kemarin sore saya mendengar kabar bahwa putri sepupu saya terindikasi mengidap leukimia (semoga ini tidak benar karena diagnosa lengkapnya baru keluar 2 hari lagi). Mendengar cerita langsung dari sepupu saya, hati saya bergetar, merinding, mulut terkatup, speechlesh nggak tahu mau ngomong apa.

Sembari mendengarkan penjelasan sepupu saya perihal awal mula sakit putrinya, pikiran saya menerawang kemana-mana. Membayangkan rasa yang dialami sepupu saya, dan terutama membayangkan rasa saya sendiri.

Meskipun saya tidak tahu banyak tentang leukimia, hanya tahu dari sinetron dan film-film saja tapi saya tahu ini bukan sakit yang ringan. Bukan sakit semacam batuk pilek yang mudah disembuhkan.

Sebagai sama-sama ibu, saya tahu ini ujian yang sangat berat. Raisa dan Rafifa yang batuk pilek saja rasanya saya sudah sedih sekali. Apalagi ini...Leukimia!!!
Samar-samar saya mendengar suara sepupu saya yang terisak di ujung telpon,
 "Ini berat banget dek buat aku!", ucapnya.
"Aku merasa belum punya banyak waktu untuk dia". Lanjutnya. (Sepupu saya ini seorang PNS yang sehari-hari bekerja dari pagi sampai sore).

Deg...Kalimat itu serasa menohokku. Aku yang merasa punya banyak waktu dengan anak-anak merasa tertampar. 1x24 jam aku bersama anak-anak, tapi entah berapa jam, berapa menit, dan berapa detik waktuku betul-betul untuk mereka. Betapa nikmat ini sering sekali kulalaikan. Pikiran seringkali menerawang kemana-mana saat membersamai mereka. Bahkan sering Raisa berkata, "Mama...Lihat aku tho, taruh HP nya!". Astaqfirulllah...

Kebersamaan yang kurang aku syukuri, seringkali mengeluhkan rumah yang tak pernah bersih dan rapi. Mengeluhkan lantai yang tak pernah kinclong, meja makan yang terlampau sering berantakan, sprei yang tidak lagi memantul saat dilempar koin dan masih banyak hal lainnya. Dan semua itu ternyata menjadi tidak penting saat anak-anak sakit.

HP hanya mengusir kesepian dan kegundahan sesaat saja, tapi tawa anak-anak akan selalu membuat hati "penuh".
Rumah yang rapi, lantai yang kinclong, meja makan yang bersih membuat senang dan puas sesaat, tapi riuhnya anak- anak bermain membuat hati lebih "penuh".

Allah mengingatkanku dengan caraNya yang lembut. Sungguh saya tidak pernah tahu sampai kapan kebersamaan ini. Seperti pertanyaan Raisa, "Kapan kita meninggal?". Tidak tahu karena itu adalah Rahasia Allah.

Dan sebenarnya itu tidak penting Nak...Mengetahui kapan kita meninggal itu tidaklah penting, yang terpenting adalah saat ini. Hidup kita adalah hari ini, hari kemarin sudah berlalu, hari esok kita tidak tahu.

Jadi Nak...Mari kita sama-sama belajar menikmati waktu dan kebersamaan yang diberikan Allah saat ini. Menikmati setiap moment, sembari terus melakukan kebaikan dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari demi hari sampai saatnya tiba kita di panggil Yang Maha Kuasa.

Mengutip pernyataan Dr. Ibrahim Elfiky dalam bukunya terapi berpikir positif, "Sebagian besar manusia menghabiskan waktu dengan memikirkan hidup yang lebih baik. Mereka tidak menghargai waktu yang ada, padahal bisa jadi waktu yang ada adalah akhir perjalanan hidupnya".
Kudus, 30 Desember 2017

#odopfor99days101




Komentar

Postingan Populer