Mama...aku mau sekolah


"Mama...besok aku mau sekolah dekat prambatan ya"
"Oke, berangkat sama ayah ya, sekalian ayah kerja"
"Oke mama"

Tak lama kemudian...

"Gak jadi ma...besok aku mau sekolah dekat sini aja"
"Oke...besok kita cari sekolahnya ya"
"Ya.. mama"

Tak lama kemudian...

"Mama...aku mau sekolah dirumah aja ya...sama mama sama titi, nanti teman2nya ditelpon suruh kesini"
"Oke sayang"

Dan sejak saat itu, setiap kali ditanya orang, "Raisa sudah sekolah?" Dia akan menjawab:"sudah". "Sekolah dimana?" Dengan mantap dia akan menjawab :"dirumah sama mama".

Saat ini, ini adalah pilihan yang terbaik untuk Raisa (3y), yaitu bermain di rumah bersama saya. Raisa memang sempat mencicipi bangku sekolah playgroup selama kurang lebih 2 bulan (itupun lebih banyak absennya). Hal ini terjadi sesaat setelah adiknya lahir. Saya merasa kasihan melihatnya bermain sendiri atau lebih banyak menonton barney saat saya mengurus adiknya.

Akhirnya setelah berdiskusi dengan ayahnya, saya putuskan untuk menyekolahkan Raisa agar dia punya teman. Satu-satunya tujuan saya hanya agar Raisa punya teman, jd saya tidak terlalu mementingkan kurikulumnya, yang penting Raisa happy. Karena saya yakin PAUD saat ini kurikulumnya hampir sama sudah terstandarisasi dari pemerintah.

Survey pertama mencari sekolah saya lakukan disekolah yang konon katanya the best PAUD nya di Kudus. Yang jadi perhatian utama saya saat survey adalah jumlah anak dalam satu kelas dan jumlah guru pendampingnya. Selain itu komunikasi guru dengan anak juga turut menjadi perhatian saya. Gedung atau tempat bermain bagi saya tidak penting, kalau sekolahnya bayarnya mahal ya bisa dipastikan gedung sekolahnya juga bagus dan mainannya juga banyak.

Setelah survey, saya merasa kurang sreg dengan PAUD ini, selain karena jumlah murid yang banyak (kurang lebih 10 anak dengan 1 guru untuk usia 2,5th) dalam satu kelas, kekurangramahan guru menyambut tamu atau orang asing juga menjadi point penting saya. Menurut saya, sesibuk apapun guru bersama muridnya, namun saat ada tamu dia dengan spontan mau dan mampu tersenyum itu sudah menunjukkan sebuah keperdulian, jika dia perduli dengan orang asing, insyaallah dengan anak didiknya akan jauh lebih perduli (ini murni pendapat pribadi saya, he..he..). Dan keberatan yang terakhir karena bayarnya berjeti-jeti. Saya pikir dengan uang segitu saya bisa belikan mainan dan buku yang buaaanyaak buat Raisa lalu saya undang anak2 tetangga untuk main ke rumah (he..he...prinsip ekonomi mamah2)

Survey kedua saya lakukan di PAUD yang agak jauh dari rumah, saya tahu PAUD ini dari brosur beberapa bulan sebelumnya. Pertama kali masuk saya sudah mulai agak sreg, pertama karena keramahan gurunya. Kedua karena penjelasan yang panjang kali lebar mengenai sekolah, kurikulum, fasilitas, biaya, progam bermain dll, semua dijelaskan (ini penting karena kita jadi tahu gambaran utuh sekolah tersebut). Ketiga, saat survey kelas, saya takjub dengan ruang kelas yang luas sehingga memungkinkan anak2 bermain dengan leluasa. Keempat, harga biaya masuk dan spp yang masih sangat terjangkau dengan kualitas yang menurut saya bagus.

Akhirnya kami putuskan untuk mendaftarkan Raisa ke PAUD tersebut. Awal2 masuk saya menemani Raisa selama kurang lebih 1 pekan, sehingga saya dapat melihat lebih dekat metode pembelajarannya. Secara keseluruhan bagus, namun karena selama ini Raisa belum pernah berpisah dengan saya sebelumnya, jadi dia masih belum merasa nyaman dengan sekolahnya. Kadang dia masih minta ditunggui, kadang mau ditinggal, kadang mau sekolah, kadang juga tidak mau sekolah.

Suatu hari, saat saya jemput, Raisa menangis dan berkata tidak mau sekolah lagi dan ini berlangsung selama beberapa hari. Saya berjanji akan menjemputnya lebih awal, dan dia mau berangkat sekolah lagi. Saya memenuhi janji saya untuk datang lebih awal, sebelum sekolah selesai, dan ternyata saya lihat dari jauh Raisa menangis. Saya tidak tega dan mendekatinya. Saat itu saat makan bersama, beberapa anak masih menangis dan tidak mau makan.

 Saya sedikit kaget dengan perlakuan guru pada anak2 yang menangis ini, terutama pada komunikasi gurunya. Kalimat negatif saya dengar, "ayo mas, makan dulu, nggak boleh naik2 situ, nanti kalau jatuh berdarah lho, dibawa kedokter trus disuntik, gimana hayo?". Sebelumnya saya juga sudah mendengar beberapa kali kalimat2 negatif ini muncul dari guru2 lain kepada murid2 yang masih menangis dan belum bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah.

Saya tahu, perkara komunikasi positif dengan anak ini memang tidak mudah, namun buat saya justru ini menjadi point utama saat berhubungan dengan anak2. Tidaklah penting kurikulum yang hebat, gedung dan fasilitas yang mewah, jika komunikasi guru ke anak masih negatif. Saya jadi tahu, mungkin ini penyebab Raisa sering menangis saat saya jemput, karena sepengetahuan saya Raisa memang anak yang sensitif perasaannya.

Akhirnya, hari2 selanjutnya saya tidak terlalu ngotot Raisa pergi sekolah. Semau dia saja. Buat saya, komunikasi positif kepada anak itu penting, karena itu adalah pondasi menumbuhkan pribadi yang sehat dan kuat pada diri anak. Bukan karena saya tidak tega melihat Raisa menangis tapi saya tidak rela jiwanya terluka karena komunikasi negatif  yang sering dia dengar. Dan Qodarullah kami harus pindah rumah, jadi perkara sekolah ini selesai. Sampai saat ini saya masih belum menemukan sekolah yang "pas" menurut saya jadi ya Raisa sekolah di rumah saja. Bermain bersama mama di rumah.

#funathomewithmama
#semogasuatuhari...

Komentar

Postingan Populer